Mohon tunggu...
Idzma Mahayattika
Idzma Mahayattika Mohon Tunggu... -

Ayah 2 anak ini merupakan seorang family hypnoterapis, grafolog, coach, trainer dan praktisi pendidikan anak di Kidzsmile Foundation (yayasan Senyum Anak Indonesia). ia merupakan anggota National Guild of hypnotist, Inc, USA dan The Indonesian Board of hypnotherapy. Selain dengan metode hypnosis, dalam melakukan terapi dan coaching Kak Idzma juga menggunakan metode EFT (Emotional Freedom Technic), NLP (neuro linguistic programming), play-art, ego state dan metode-metode lainnya. Kak Idzma memang sangat cinta dengan anak-anak, beliau suka mendongeng untuk anak-anak. saat ini Kak Idzma juga sedang mendalami Pendidikan Anak Usia Dini di Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta. Ia juga seorang relawan kemanusiaan yang memiliki banyak pengalaman dalam bidang kebencanaan. Ia berpengalaman terjun langsung untuk mengatasi trauma anak-anak dan orang tua pada berbagai daerah bencana di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekilas tentang Perkembangan Anak

23 Maret 2012   06:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332483162227678686

kok anak saya belum bisa baca, dia sudah?” Anak saya pendek ya? Anak ibu itu kok tinggi?” Tidak asing dengan pertanyaan diatas? Ya betul, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sering ditanyakan kita sebagai orang tua ketika membandingkan anak kita dengan anak lain. Banyak hal yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, maka kita tidak bisa membandingkan tumbuh kembang anak satu dengan yang lainnya. Beragam faktor tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua faktor besar, yaitu faktor keturunan dan lingkungan. Jika keturunan dan lingkungan seorang anak berbeda, maka tumbuh kembang setiap anak juga berbeda. Bahkan dua anak kembarpun akan mempunyai proses tumbuh kembang yang berbeda. Apa perbedaan pertumbuhan dan perkembangan? Secara sederhana Pertumbuhan (Growth)  adalah proses bertambah besar dan jumlahnya sel-sel dalam tubuh yang secara kuantitatif bisa diukur. Misal berat dan tinggi badan. Sedangkan perkembangan (Development) ialah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tahap kematangan dan belajar (Whalley dan Wong, 2000). Pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dua hal yang tek terpisahkan, keduanya merupakan sebuah kesatuan. Perkembangan anak bisa dibagi menjadi beberapa Aspek yaitu kognitif, psikososial dan motorik. Aspek Kognitif adalah kemampuan individu dalam menerima dan  memproses  informasi. Perkembangan Kognitif Individu dibagi menjadi 4 tahapan oleh Jean Piaget, yaitu Sensorimotor 0-2 thn Bayi memperoleh pengetahuan tentang dunia dari tindakan-tindakan fisik yang mereka lakukan. Bayi mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik dengan tindakan-tindakan fisik. Seorang Bayi berkembang dari tindakan refleksif, instingsif pada saat kelahiran hingga berkembangnya pemikiran simbolik awal pada akhir tahapan ini. Praoperasional 2-7 thn Anak mulai menggunakan gambaran-gambaran mental untuk memahami duniannya. Pemikiran-pemikiran simbolik yang direfleksikan dalam penggunaan kata-kata dan gambar-gambar mulai digunakan dalam penggambaran mental yang melampaui  hubugan informasi sensorik dengan tindakan fisik. Akan tetapi ada beberapa hambatan dalam pemikiran anak pada tahapan ini, yaitu egosentrisme dan sentralisasi Operasional kongkrit 7-11 thn Anak mampu berpikir logis mengenai kejadian-kejadian kongkrit, memahami konsep percakapan, mengorganisasikan objek menjadi kelas-kelas hierarki (klasifikasi) dan menempatkan objek-objek dalam urutan yang teratur (serialisasi) Operasional Formal >11 thn Berpikir lebih abstrak, idealis dan logis Aspek selanjutnya ialah aspek psikososial. Aspek psikososial ialah bagaimana pengaruh masyarakat dalam perkembangan kepribadian individu Erikson membagi perkembangan  psikososial indvidu menjadi : Tahun pertama adalah masa-masa awal anak mengenal dunia. Masa-masa penuh adaptasi. Erikson yang dikutip dari buku Child development[1] menyatakan bahwa umur 0-1 tahun adalah masa “trust vs mistrust”. Rasa percaya “trust” melibatkan rasa nyaman fisik dan tidak ada rasa takut serta kecemasan pada masa depan. Kelekatan Pengasuhan ayah dan bundanya akan membuat bayi merasa aman dan percaya bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk ditinggali. Usia 1-3 tahun adalah masa perkembangan autonomy vs doubt&shame. Pada masa ini anak-anak mulai menyatakan kemandirian mereka, mereka mulai menyatakan keinginannya. Larangan yang terlalu keras akan membuat anak menjadi peragu. Pada masa ini, orang tua berperan penting menjadi role model bagi anak. Anak akan mencontoh perilaku orang tuanya, yang baik maupun buruk. Orang tua dapat membangun kelekatan dengan anak dengan mulai melibatkan anak dalam aktivitasnya. Misal memindahkan kursi, mencuci mobil, shalat berjamaah dll. Selain itu, bermain bersama, jalan-jalan berdua dan bercerita berdua juga akan menambah kelekatan ayah-anak. Yang seru, orang tua sudah mulai bisa bermain fisik dengan anak, misal bermain gulat, kuda-kudaan dll. Penelitian yang dilakukan oleh Professor William Pollack dari Harvard medical School, AS, menunjukkan bahwa permainan fisik bisa mendukung eksplorasi yang sehat dikemudian hari dalam hidup anak. Permainan fisik akan membuat anak belajar berempati. Usia 3-6 tahun adalah masa perkembangan initiative vs guilt. Dalam masa ini anak mulai punya hubungan sosial yang lebih luas, maka tantangan yang dihadapinya pun mulai bertambah luas. Prilaku yang aktif dan bertujuan sangat diperlukan pada masa ini. Anak diminta bertanggung jawab terhadap diri, perilaku, mainan dan hewan peliharaannya. Tanggung jawab inilah yang akan menimbulkan inisiatif. Di masa ini, peran orang tua adalah menjadi role model, teman bermain dan juga “penegak disiplin”. Untuk membangun kelekatan dengan anak, selain dengan bercerita bersama, orang tua juga mulai terlibat dalam aktivitas anak. Misal ayah terlibat dalam aktivitas anak dalam memelihara hewan peliharaan dll. Usia 6-13 tahun adalah masa industry vs inferior (kerja keras vs rasa inferior). Di masa ini anak mulai masuk sekolah dasar. Anak akan mulai masuk ke dunia yang lebih luas lagi. Dimasa ini anak lebih antusias belajar, namun ini juga berisiko membuat anak merasa inferior (merasa tidak kompeten dan tidak produktif). Maka dari itu, dukungan orang tua pada anak sangat penting disini. Penelitian mengatakan bahwa ayah yang terlibat dalam urusan sekolah anaknya akan membuat anak merasa nyaman dan semakin berprestasi di sekolah. Usia remaja adalah masa identity vs identity confusion (identitas vs kebingungan identitas). Pada masa ini Individu dihadapkan pada penemuan diri tentang siapa mereka sebenarnya. Dan kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini. Remaja dihadapkan pada banyak peran baru dan status kedewasaan (pekerjaan&cinta). Orang tua perlu memberikan izin kepada mereka untuk menjelajahi peran-peran tersebut dan jalan-jalan berbeda di setiap peran. Jika remaja menjelajahi peran tersebut dengan baik dan sampai pada jalan positif untuk diikuti dalam hidup maka identitas positif akan tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan oleh orang tua, jika remaja tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika masa depan yang positif belum jelas maka terjadilah kebingungan identitas. Aspek selanjutnya ialah aspek motorik. Aspek motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar ialah ketrampilan yang melibatkan otot yang besar, seperti berjalan, berlari, merangkak dan melompat. Sedangkan motorik halus ialah gerakan yang melibatkan gerakan yang diatur secara halus, misal menggenggam, mengancingkan baju, atau melakukan apapun yang memerlukan ketrampilan tangan menunjukkan ketrampilan motorik halus. Usia dini ialah masa dimana perkembangan motorik anak sangat pesat, sehingga stimulasi terhadap motorik halus dan kasar pada anak sangat penting. Aspek lain yang merupakan turunan dari kognitif ialah aspek bahasa atau linguistik. Bahasa ialah bentuk komunikasi (baik lisan, tulisan maupun isyarat) yang berdasarkan pada suatu system dari simbol-simbol. Aspek perkembangan bahasa terdiri dari empat, yaitu mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Seefeldt & Wasik (2008:324) menjelaskan keempat aspek tersebut masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut[2]. 1. Mendengarkan (menyimak) Anak-anak mengembangkan kemampuan mendengarkan agar memahami lingkungan mereka. Supaya mereka belajar, mereka harus menerima masukan informasi dan mengolahnya. Mendengarkan dan memahami informasi adalah langkah dasar dalam memperoleh pengetahuan karena fungsi indra pendengaran sangat mempengaruhi perolehan informasi. Mendengar bukan merupakan kemampuan alami, sejak lahir. Untuk itu kemampuan ini dipelajari lewat bimbingan dan pengajaran orang tua, guru, dan orang lain di lingkungan anak-anak. 2. Berbicara Dickinson dan Snow menurut Seefeldt dan Wasik menyatakan bahwa untuk belajar bahasa, anak-anak memerlukan kesempatan untuk bicara dan didengarkan. Dialog efektif antara orang dewasa dan anak termasuk orang dewasa yang mendengarkan ketika anak itu berbicara, mengajukan pertanyaan yang mendorong anak itu bicara lebih banyak, dan memperluas serta mengolah apa yang dikatakan anak itu. 3. Membaca Membaca merupakan kemampuan individu dalam mengolah kata-kata dan sistem bahasa pada huruf dan kata tercetak. Kuncinya adalah memahami kombinasi huruf dan kata yang tercetak. Sistem bahasa yang berpengaruh disini adalah kemampuan anak dalam hal semantik, dan sintaksis serta pragmatis bahasa. Suatu hal yang penting dalam perolehan membaca pada anak usia dini adalah bahasa yang digunakan haruslah konkret dan konteksual, dimana anak tahu tata bahasanya dengan melihat bentuk konkret dari bendanya yang berasal dari lingkungan sekitar. Cara tersebut mempermudah kemampuan anak membaca dan memahami apa yang dibacanya. 4. Menulis Menulis merupakan bagian yang paling rumit dalam perolehan bahasa anak. Hal tersebut karena dalam menulis anak sudah mampu membaca. Namun, walalupun demikian proses yang dialami tentunya bertahap. Kemampuan anak menulis diawali dengan kemampuannya mencoret yang abstrak bertahap menjadi jelas bentuk hurufnya. Sulzby menyatakan bahwa ketika anak tertarik pada buku dan huruf cetak, mereka mulai mengerti bahwa huruf cetak, seperti juga bahasa membawa sebuah pesan. Anak-anak pemula dimotivasi untuk menulis guna mengungkapkan ide dan pikiran mereka dengan huruf cetak. Menulis, seperti juga membaca, terus berkembang sepanjang anak-anak mempunyai pengalaman yang berulang dengan huruf cetak. Yang penting juga untuk dipahami bahwa anak menulis atau mencoba untuk mengungkapkan diri mereka dalam huruf cetak meskipun apa yang mereka buat tidak kelihatan seperti huruf cetak konvensional. @K_IDZma storyteller-trainer-coach-family hypnotherapist www.kidzsmile.info [1] Santrock, John W. child development,11th edition [2] Seefeldt & Wasik, 2008.  Pendidikan anak Usia Dini. Indeks : Jakarta. [caption id="attachment_170305" align="alignleft" width="480" caption="gambar dari http://parentingforeveryone.com/child_development/"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun