'Jika bahu dan pelvis adalah gerbang, gunakan tangan dan kaki kita sebagai kunci untuk membukanya.'
Itu yang dikatakan Clé Souren, seorang guru senior yoga tradisi Iyengar.
Buka gerbang menuju mana, sih?
Dalam latihan membuka daerah tulang panggul dan bahu ini, salah satu fungsinya adalah meregangkan otot-otot yang selama ini beraktivitas dalam postur tubuh yang salah, atau pola pernafasan yang salah. Kenapa bisa salah pake badan sendiri? Ini yang kadang tidak kita sadari.
Kemarin pagi, kesampean juga saya mengikuti sebuah sesi yoga yang diajar langsung oleh sang pendiri Iyengar Yoga Institute Amsterdam ini. Atas satu dan lain hal, saya yang berlatih yoga secara intensif belum lebih dari satu tahun nekat ikut kelas advance. Dalam kelas pembukaan workshop ini, memang belum berasa terlalu hardcore. Sebelum lantaran jadi pongah dan fatal menyimpulkan bahwa saya sanggup mengikuti kelas advance, saya ulas balik pengalaman latihan saja.
Yang membuat kelas advance ini berbeda adalah cara penyampaian instruksi untuk setiap asana (postur) dan pranayama (teknik bernafas) yang detail dan intensif. Karena itu pula, saya merasa otak sedikit kejar-kejaran dalam mencerna berbagai wisdom yang terus beliau alirkan selama kami melakukan gerakan. Sepanjang dua jam, saya menerima penjelasan yang mendalam, menyejukkan dan membuka mata dari Clé atas fungsi dan nilai dari setiap postur yang kami lakukan. Dalam tradisi yoga Iyengar, setiap gerakan punya alasan kuat untuk harus dilakukan dengan benar dan tepat. Karena kalau tidak boro-boro dapat manfaat, risiko justru meningkat. Semua dilakukan demi kesehatan dan keselamatan, jadi tidak benar kalau orang yang melakukan yoga Iyengar adalah masokis yang demen disiksa ala wajib militer. Sembari memahami benefit gerakan, kami belajar cara melakukan gerakan dengan tepat, mulai dari memanjangkan tulang belakang, memperkuat dinding perut, memahami bedanya membuka bagian depan atau belakang dari tulang punggung, back bend dan forward bend, hubungan satu organ dengan yang lainnya, dan masih banyak lagi. Eit, jangan sedih, selain mendapat penjelasan, saya juga mendapat teguran.
'Keep your eyes wide open! Why are you closing your eyes?'
'Ngg.. to concentrate.'
Dang! Salah besar. Menutup mata saat latihan justru membiarkan pikiran kita mencari sensasi lain yang tidak ada, sedangkan yang kita butuhkan adalah kondisi fully aware. Dengan benar-benar aware, kita bisa penetrasi ke dalam, yang nantinya membantu kita untuk lebih mengenal rahasia tubuh dan membangkitkan energi (yang sebenarnya sudah kita punya) agar bisa merawat dan memperbaiki diri sendiri. Nah, yang membuat kapasitas dan kemampuan orang berbeda-beda adalah, karena setiap bagian dari tubuh kita memiliki intelijensi (bisa jadi alasan menghindar, bilang aja memang lututnya yang bodoh). Dan, cara mendidik intelijensi tubuh ini harus dengan integrasi. Kita memiliki dua bagian, yaitu gross body, yaitu badan ragawi yang tampak, dan subtle body atau sebut saja badan batin atau jiwa. Dengan bersatunya polarisasi, proses penyeimbangan menjadi lengkap, ditambah perawatan rutin dengan konsisten berlatih. Bayangkan kita punya taman di belakang rumah. Di sana kita punya bermacam-macam bunga, mawar, anggrek, kamboja, ganja (eh..) tapi hanya kita biarkan tumbuh meliar. Tentu akan belingsatan. Dengan merawat dan memelihara semua yang kita miliki, kita bisa terpenuhi secara fisik, mental, intelektual, spiritual.
Usai kelas, dalam kesempatan lunch bersama saya sempatkan untuk bertanya ini-itu pada beliau. Yang pertama adalah, jika tujuan kita mempraktekan Iyengar untuk terapi medis (seperti skoliosis, misalnya), bagaimana kita tahu sejauh mana proses pembaikan tubuh kita? Karena saya pernah dengar obat dan alat ini-itu yang ternyata hanya membantu mengurangi, or worse, memanipulasi rasa nyeri yang ada di tulang belakang secara temporer. Sedangkan penyakit sejatinya masih bercokol di sana, dan bisa kembali lagi. Sambil memotong-motong dessert pancake-nya, Clé menjawab. 'Gampang, pas kita merasa betul-betul sadar kalau berasa baikan'.
Tentu semua penilaian adalah subyektif, karena manfaat yoga sendiri harus datang dari disiplin praktek yang dialami sendiri. Beliau yang sudah mengajar 35 tahun saja masih berlatih berjam-jam tiap harinya. Dan, konsekuensi dari tidak berlatih secara konsisten adalah kita akan mengulang proses dari awal lagi untuk mengenal tubuh kita. Dengan memperbaiki postur tubuh, kita bisa memiliki keseimbangan dan keselarasan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, lebih sehat dan membuat hidup lebih mudah. Beliau menuturkan, sebagai yogi, disiplin ini sendiri tidak hanya berlaku dalam praktek fisik saja, tapi juga misalnya dengan menjadi family man yang baik, bertanggung jawab dalam lingkup sosial, dan harus bisa mengurus segala sesuatu dalam hidupnya.
Setelah sarapan prayanama dan brunch asana kemarin, saya belum kenyang, malah jadi lebih bersemangat dan ingin tahu lebih banyak lagi. Mari siap-siap buat kelas selanjutnya!
Bagi yang mau nambah pengalaman latihan yoga mumpung ada Clé Souren, bisa hubungi studio jakartadoyoga di 021 3100071 atau 088 896 7392
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H