Mohon tunggu...
Idal Idul
Idal Idul Mohon Tunggu... -

Tidak sokolah tidak masalah, daripada sekolah cuma cari ijazah, habis-habisin uang saja, sekolah biayanya mahal, yang penting bisa baca tulis itu sudah cukup. Percuma sekolah jadi orang pinter kalau ujung-ujungnya cuma membodohi rakyat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buat Apa Sekolah Tinggi Kalau Ujung-ujungnya Jadi Penipu

27 Juni 2013   05:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:22 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau tidak salah setahun yang lalu ketua DPR RI pernah mengatakan kalau kampus itu pencetak koruptor. Para pejabat yang koruptor semua sekolahnya tinggi-tinggi. Tapi apa benar kampus itu pencetak para koruptor? "Kita lihat realitasnya yang korupsi saat ini umumnya mereka yang berpendidikan tinggi, tidak terkecuali dari UI, UGM, ITB dan sebagainya, artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam proses pendidikan kita," kata Marzuki Ali dalam www.beritasatu.com, (Selasa, 08 Mei 2012 | 15:30).

Kalau sudah seperti itu yang salah institusi pendidikannya atau individunya? Atau pemerintah yang tidak pecus membenahi sistem pendidikan Indonesia. Hampir setiap ganti menteri ganti kurikulum. Akhirnya para guru, murid dan orangtua murid yang bingung. Untuk para guru harus ada penataran lagi, workshop lagi, atau apalah namanya untuk sosialisasi kurikulum baru, ini jelas pakai dana negara. Untuk mrid dan orangtua murid harus ganti buku, beli buku lagi, keluar uang lagi. Ini yang membuat sekolah itu mahal. Mungkin ada yang sekolah gratis, tapi tetap saja tidak gratis untuk mendapatkan buku.

Ada program wajib belajar, yang jadi pertanyaan adalah wajib untuk siapa? Anak-anak, orangtua atau pemerintah? Entah itu wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun, belum jelas itu wajib untuk siapa. Kalau wajib untuk anak-anak, kenapa banyak anak-anak jalanan yang masih usia sekolah berkeliaran dipersimpangan jalan? Kalau wajib seharusnya mereka terkena sanksi karena mereka tidak bersekolah. Kalau wajibnya untuk orangtua, seharusnya orangtua yang mengajak anaknya ngamen dan ngemis itu juga kena sanksi kerena tidak menyekolahkan anaknya. Kalau yang wajib pemerintah, seharusnya pemerintah tidak membiarkan sekolahan rusak dan nyaris roboh.

Entahlah, sebenarnya wajib untuk siapa. Wajar saja kalau anak lebih suka tidak bersekolah, karena mereka juga bingung, wajib untuk siapa. Kalau wajib kenapa harus bayar mahal? Okeylah ada yang bilang ilmu itu mahal. Tapi kan tidak harus dengan mengkomersialisasikan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun memberikan peluang pihak swasta mengeruk keuntungan dengan mengkomersialisasikan sekolah. Mereka memanfaatkan kesempatan itu, motivasi para pihak swasta yang terjun di dunia pendidikan itu ada dua kemungkinan, yang pertama karena peduli dengan pendidikan dan yang kedua hanya untuk mencari sumber penghasilan yang melimpah untuk memperkaya diri.

Walaupun dengan alasan sarana dan prasarananya lengkap tetap saja bayarnya mahal. Disitu ada tindakan pilih kasih, hanya orang-orang kaya saja yang bisa bersekolah. Jadi yang miskin kalaupun harus bersekolah tetap disekolahan yang terbatas sarana dan prasarananya. Ini tidak hanya terjadi disekolahan swasta saja, disekolahan negeripun juga harus bayar mahal. Apalagi sekolah yang berstandar Internasional bayarnya menyaingi bahkan lebih besar dari sekolahan swasta. Terjadi diskriminasi, akhirnya yang kaya yang bisa bersekolah dan yang miskin putus sekolah.

Maka tidak salah jika banyak orangtua yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Awalnya pengin menyekolahkan anak-anaknya, tapi karena biayanya mahal jadi mereka mengurungkan niatnya. Bahkan ada yang beranggapan, untuk apa sekolah, cuma menghabis-habiskan uang saja, sekolah juga tidak membuat orang jadi kaya. Mending mengolah sawah atau ladang, menanam padi atau palawija, kalau sudah panen kan lumayan untuk makan sehari-hari.

Melihat realita dilapangan, banyak orang yang ditangkap dan dipenjara semuanya bertitel. Mereka sekolah tinggi-tinggi, tapi tetap saja jadi maling, koruptor, suap-menyuap. Aksi tipu sana-sini, apapun dijadikan uang, halal haram hantam. Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan ketua DPR RI bahwa para koruptor itu kebanyakan sekolahnya tinggi-tinggi. Mungkin itu terjadi karena sekolah biayanya mahal. Tapi tidak juga sih, ada juga yang sekolahnya di sekolah kedinasan, dapat beasiswa, tetap saja alumninya ada yang jadi koruptor.

Ntahlah jadi bingung, atau karena ada ujian akhir yang berstandar nasional itu. Pasalnya banyak aksi contek-mencontek diujian itu, bahkan gurunya yang mengajari mencontek. Kecil-kecil sudah diajari curang, maka besarnya wajar kalau jadi maling, penipu atau koruptor. Mungkin juga disebabkan oleh ketika kuliah dalam membuat skripsinya plagiat. Jadi kebiasaan curang deh, jadi menipu juga dianggap biasa.

Banyak juga rektor yang ketangkap dan dipenjara karena kasus korupsi. Kalau ditanya masalah iman, mereka juga sembahyang, ketempat ibadah masing-masing, bahkan tiap bulan menyumbang untuk pembangunan tempat ibadah. Berarti harus dikembalikan dengan individunya. Susah juga mendeteksi kenapa orang bisa melakukan korupsi. Mungkin perlu bertanya dengan mereka yang sudah ditangkap dan dipenjara. Kalau memang disebabkan karena sekolahnya yang tinggi. Jadi saya punya alasan jika mengatakan buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi penipu atau koruptor juga. Mending jadi orang biasa yang tidak mungkin jadi pejabat dan tidak mungkin melakukan korupsi.

Jambi, 27 Juni 2013

Salam Idal Idul

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun