Mohon tunggu...
Muhammad Idrus Mauludin
Muhammad Idrus Mauludin Mohon Tunggu... Sales - Memulai menulis kembali

Mencari Kebenaran Bukan Pembenaran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Omnibus Law Sah, Lalu Kita Mau Apa?

11 Oktober 2020   23:24 Diperbarui: 12 Oktober 2020   12:47 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

8 Oktober lalu tentu masih jelas teringat di benak kita demonstrasi Buruh serentak terjadi di banyak kota di Indonesia menyusul disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu. Menjadi polemik di masyarakat Indonesia, khususnya para pekerja karena RUU Cipta Kerja yang dibuat agar dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia dan diharapkan mampu mengundang investor asing untuk menyerap tenaga kerja justru malah ditentang oleh para pekerja Indonesia sendiri. Beberapa pasal di klaster ketenagakerjaan yang disorot oleh para pekerja Indonesia. Mulai sistem kontrak yang dinilai berpotensi menjadikan pengusaha semena-mena kepada tenaga kerjanya. Sistem pemberian upah yang dianggap memperbolehkan perusahaan menggaji pekerja dibawah standard yang sudah ditetapkan oleh Undan-undang Ketengakerjaan sebelumnya. Hingga menyoroti pemerintah dinilai mempermudah tenaga kerja asing bekerja di Indonesia.

Terkait pro kontra RUU Cipta Kerja tersebut, saya tidak hendak membahas pro kontra Undang-undang tersebut. Namun, saya ingin membahas apa yang menjadi persoalan mendasar perekonomian Indonesia pada sektor letenagakerjaan. Pemerintah mengklaim, semasa pandemi ini ekonomi Indonesia diambang resesi yang mengancam akan menciptakan banyak pengangguran juga. Maka dibutuhkan Undang-undang yang mengatur dan memudahkan investor asing mendirikan perusahaan di Indonesia. Dengan begitu akan meningkatkan perekonomian Indonesia dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sepertinya menang negara kita adalah negara pengimpor terbesar di Dunia, Indonesia bisa bebas mengimpor produk-produk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rakyatnya mulai dari produk pertanian, hinga produk manufaktur, dan kini mengimpor investor asing. Perusahaan baru asing sudah pasti juga akan mendatangkan tenaga kerja asing. Bukan hanya dari perusahaan asing, perusahaan tempat saya bekerja saat ini beberapa waktu lalu membuka cabang di salah satu kota di Indonesia Timur, dan itu membawa beberapa orang rekan kerja saya untuk transfer teknologi disana.

Dalam hal masalah ketenagakerjaan tersebut, menurut saya substansinya ada pada kualitaa sumber daya manusia negara Indonesia. Dimana SDM kita tidak mampu menjadi pengusaha atau investor di negaranya sendiri. Lalu kekhawatiran akan TKA yang masuk ke Indonesia juga dikarenakan ketidakmampuan SDM kita bersaing dengan mereka. Jumlah pengusaha Indonesia yang rendah itu dibenarkan oleh catatan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), yakni hanya 3,10% dari total jumlah pendudukan Indonesia yang saat ini sebanyak 225 juta jiwa. Jauh dibawah Malaysia yang berjumlah 6% dari jumlah penduduknya. Sedangkan kualitas Tenaga Kerja Negara kita menurut ukuran Asia Productivity Organizatiin (APO), indeks produktivitasnya berdasarkan jumlah jam kerja pada 2017 sebesar 1,30. Angka ini masih di bawah Thailand dan Vietnam yang masing-masing sebesar 1,45 dan 1,50.

Seharusnya ini menjadi evaluasi kita bersama untuk mendorong perekonomian negara Indonesia, kita harus memulainya dari diri kita sendiri. Bagaimana caranya? Tentu dengan meningkatkan kualitas keahlian kerja kita. Dengan kualitas keahlian kerjayang bagus maka kita tidak perlu takut bersaing di pasar kerja Global. Kualitas keahlian kerja yang bagus akan membantu perusahaan tempat kita bekerja tumbuh. Pertumbuhan tersebut tentu akan mendorong perekonomian negara Indonesia. Mulai sekarang mari kita perbanyak mengikuti seminar ataupun webinar untuk menambah kualitas keahlian kerja kita.

Selain itu, kita juga harus mendorong pengusaha lokal Indonesia agar bisa bertumbuh dan tetap survive ditengah persaingan pasar dengan membeli produk lokal buatan perusahaan Indonesia maupun UMKM Indonesia. Jangan pernah menertawakan atau menganggap remeh rekan kita yang mencoba memulai berwirausaha, bahkan jika dia hanya jual pentol bakso saja. Di kota tempat tinggal saya saat ini, ada satu pedagang pentol bakso yang memiliki puluhan cabang hingga di kota tetangga. Omzet satu cabangnya bisa mencapai 1 juta Rupiah. Saat ini, memperkerjakan belasan karyawan untuk bagian produksi dan mengajak puluhan orang untuk menjadi mitra dagannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun