"Cinta tidak mencari pasangan yang sempurna tetapi cinta adalah mencintai pasangan dengan cara yang sempurna"
Begitulah nasehat sang murobbi tatkala duduk di lingkaran mentoring. Guru spritualku tak hanya membimbingku bagaimana menjadi sosok yang kokoh secara ibadah, tetapi dia juga menekankan aku harus kokoh secara mental dalam mengarungi episode kehidupan selanjutnya. Untuk itu, dalam surat cinta ini, saya tuliskan bebrapa harapan secar pribadi demi cinta kita nanti. Buat Bidadariku yang masih dalam Misteri Meski aku tak pernah tahu siapa dirimu, tetapi melalui tulisan ini, aku ingin bercakap banyak denganmu. Aku ingin kau tahu, betapa hati ini telah lama menunggu kedatanganmu. Siapa dirimu, itu tidaklah penting bagiku. Asalkan dirimu siap dan tegar dikala bersanding dalam perjalanan panjang yang bernama "kehidupan". Tahukah engkau wahai bidadariku? Aku hanya akan bisa kuat berjalan jika ada tanganmu merangkulku. Aku akan merasa kokoh tatkala Allah mengutusmu untuk menopang jiwaku. Sehingga kedatanganmu bukan hanya untuk bersenang-senang dalam kebebasan. Tapi ada amanah besar yang hendak engkau pikul setelah bersamaku. Apa itu? jadilah inspirator hidupku. Wahai Bidadariku Jika dirimu ingin bahagia, maka belajarlah dari ibumu. Ia memiliki banyak pengalaman berharga dalam keluarga. Aku sarankan engkau bisa menimba ilmu kepadanya. Dia tahu banyak tentang bagaimana mendampingi suami agar bisa semangat. Dia tahu bagaimana melayani suami yang baik. Dia juga tahu bagaimana membesarkan anak keturunan dengan cara yang bijak. Semua ada pada diri ibumu. jadi, sebelum kita bersama, yakinkah pada diriku bahwa dirimu telah khatam atas pendidikan seorang ibu. Wahai Bidadariku Aku ingin kau siapkan mental saja. Ya mental petarung yang ketika dihantam lawan tidak mudah roboh. Ibarat sebuah karang di lautan, kau harus setegar meraka. Saat badai laut berhembus dan gelombang ganas menghantam, maka disitulah dirimu dituntut tegar dan siap melawan tantangan hidup. Untuk masalah ini, saya tidak perlu ragu lagi. Toh, dirimu telah ditempa tarbiyah. Pasti engkau bisa lebih siap mental dari apa yang ada di dalam pikiranku. Wahai Bidadariku Alangkah bahagianya diriku, jika engkau adalah sosok yang telah paham agama. Tidak harus hafal qu'ran seluruhnya. Tapi sedikitnya engkau tahu mengaji. Hal ini karena engkau akan menjadi madrasah bagi anak-anak kelak. Aku tak ingin hanya karena engkau tidak bisa mengaji, lalu anak-anakku menjadi tidak bisa mengaji. Aku tak ingin itu terjadi. Jauh sebelum kita bersatu dalam ikatan halal, belajarlah mengaji terlebih dahulu. Hal ini tidak terlalu berat. Mungkin dua bulan kalau memang serius, pasti bisa kok. Sholeh tidaknya anak-anak kita nanti, itu akan bergantung kepadamu. Sebab, aku hanyalah pendidik kedua. Yang pertama jmenjadi guru untuk mereka itulah dirimu. Jadi, pastikan dirimu siap menjadi pendidik yang baik. Okay? Wahai bidadariku Paham Agama adalah hal relatif. Aku tidak mempersoalkan hal itu. Hanya saja, berjanjilah kepadaku untuk menutup auratmu dengan berhijab. Hijabmu adalah hijabku juga. Tatkala engkau menjual auratmu di masyarakat, maka seperti itulah harga diriku sebagai suamimu nanti. Orang-orang akan menilaiku, "Ah suaminya gagal mendidikanya". Tidak, sekali lagi tidak. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Jika engkau bukanlah tipikal hijaber, mungkin masih ada waktu. Berubalah dengan secara per lahan. Kenakan jilbab semampumu saja. Dan jika telah betah dengan jilbabmu itu, maka selanjutnya pilihlah jilbab yang syar'i. Kalau aku sih maunya engkau pakai jilbab segi tiga. Saya lebih memangdang dirimu berharga dibanding jilbab kecengan yang hanya membalut kepala kepanasan, juga tidak bisa menutup bagian aurat lainnya. Wahai Bidadariku Jadilah wanita yang hidup penuh kesabaran dan ketabahan. Ingat dan bacalah kembali bagaimana khadijah menemani rasulullah SAW dalam kehidupannya yang miskin. Sampai-sampai, khadijah tidak memiliki apa lagi untuk dia sumbangkan di jalan Allah yang dirintis oleh suaminya Muhammad. Aku pun sama. Aku tidak memiliki harta yang melipah. Hal ini penting untuk aku sampaikan, sebab aku tak ingin engkau menyesal di kemudian hari. Kalau memang hidupmu berorientasi pada harta dan kemewahan dunia lainnya, maka aku bukanlah orang yang tepat. Tetapi jika dirimu mengharapkan kebahagian, maka akulah orangnya. Bukan berarti aku merasa sombong dan takabur. Tapi memang, aku memili tanggung jawab bagimana engkau bisa tersenyum bahagia. Wahai bidadariku Mungkin terlalu banyak syarat yang kuminta. Sekali lagi maaf ya. Jangan berkecil hati. Itu hanyalah sebuah prinsip seorang lelaki yang tidaak ingin keluarganya berantakan hanya karena ketidaksiapan sang istri. Aku melakukan ini bukan untuk membuat kita menjadi lebih sulit untuk bersama. Tapi, semua yang saku harapkan di atas adalah modal kita untuk bersama. Jika kita sudah siap dengan hal ini, maka tunggulah aku akan menjemput dalam ikatan suci. Wahai bidariku Cukuplah celoteh calon suaminmu ini. Semoga kita akan segera bertemu. Aku sudah lama merindukanmu. Tapi engkau selalu saja bersembunyi. Atau memang aku tak tahu siapa dirimu. Tapi, okelah, aku hanya menunggu kapan Allah akan mempertemukan kita. Semoga engkau membaca tulisan ini. Salam kangen buat kamu yang berada di sana... Sumber : www.cahayapena.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H