Di dunia yang serba cepat dan penuh informasi ini, Gen Z berada di tengah perdebatan yang semakin intens mengenai seni dan keadilan sosial.
Baru-baru ini, lagu Apt dari Bruno Mars dan Rose memicu kontroversi besar, berkat dugaan afiliasi artis dengan isu yang lebih besar: konflik Israel dan Palestina. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar tentang musik; ini tentang nilai, identitas, dan bagaimana kita berinteraksi dengan karya seni yang dihasilkan oleh individu yang mungkin memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan kita.
Memahami Fenomena Cancel Culture
Sebelum kita menyelami kontroversi ini lebih dalam, mari kita bahas apa itu cancel culture. Istilah ini merujuk pada praktik memboikot atau "membatalkan" seseorang atau sesuatu yang dianggap tidak etis atau kontroversial. Bagi Gen Z, yang sangat aktif di media sosial, tindakan ini sering kali menjadi bentuk ekspresi solidaritas terhadap isu-isu sosial. Namun, dalam prosesnya, terkadang muncul pertanyaan: apakah kita terlalu cepat mengambil keputusan untuk membatalkan artis yang kita suka hanya karena mereka terlibat dalam kontroversi?
Menurut studi yang dilakukan oleh Pew Research, sekitar 57% dari Gen Z percaya bahwa mereka harus bertanggung jawab untuk mengadvokasi keadilan sosial, termasuk memboikot individu atau entitas yang mereka anggap tidak mendukung nilai-nilai tersebut. Namun, di sisi lain, banyak yang juga merasa bingung dengan pendekatan ini, terutama ketika artis favorit mereka terlibat dalam isu yang kontroversial.
Kontroversi di Balik Lagu Apt
Lagu Apt menjadi pusat perhatian ketika terungkap bahwa lagu ini diciptakan oleh orang-orang yang dianggap memiliki afiliasi dengan Israel. Sementara itu, Bruno Mars, salah satu artis paling terkenal di dunia, juga mendapatkan sorotan karena dukungan politiknya yang dianggap pro-Israel. Tentu saja, ini memicu reaksi keras dari banyak penggemar, terutama dari mereka yang mendukung Palestina.
Tantangan muncul ketika penggemar yang menikmati musik Bruno Mars dan Rose merasa terjebak di antara keinginan untuk mendukung artis favorit mereka dan kebutuhan untuk mempertahankan prinsip moral mereka. Apakah mereka harus memilih antara mengabaikan karya seni yang mereka cintai atau mengambil sikap tegas dan membatalkannya?
Beberapa penggemar menganggap bahwa tindakan membatalkan artis dapat dianggap sebagai bentuk pembungkaman. Mereka berpendapat bahwa seni seharusnya bisa dinikmati tanpa harus terjebak dalam konteks politik atau afiliasi tertentu. Ini menjadi dilema yang cukup rumit, terutama dalam era media sosial di mana opini dapat dengan cepat viral.
Dissonansi Kognitif dan Pengalaman Emosional
Bagi banyak orang, mengalami disonansi kognitif adalah hal yang tidak nyaman. Ini terjadi ketika dua ide atau nilai yang bertentangan muncul bersamaan. Dalam konteks ini, penggemar yang merasa terikat dengan musik Bruno Mars mungkin mengalami ketegangan antara cinta mereka terhadap musik dan penolakan mereka terhadap pandangan politik artis tersebut.
Studi menunjukkan bahwa Gen Z lebih cenderung mengalami emosi yang lebih kuat terkait dengan isu sosial. Ketika mereka menyaksikan rekan-rekan mereka memboikot artis yang mereka cintai, mereka bisa merasa terasing atau bingung. Mereka mungkin bertanya pada diri sendiri: "Bagaimana saya bisa menyukai lagu ini jika artisnya terlibat dalam kontroversi yang saya tidak setujui?"
Di sinilah pentingnya mendiskusikan konsep "memisahkan seni dari artis". Ini mengajak kita untuk mempertanyakan apakah kita bisa menikmati karya tanpa mengaitkannya dengan kehidupan pribadi atau pandangan politik penciptanya.