Namaku satria, lahir dari keluarga yang bisa di bilang perekonomian menengah kebawah. Ayahku hanyalah seorang supir yang mengabdikan dirinya di jalan raya. Kadang pergi pagi pulang malam, tapi kadang juga pergi pagi, seminggu baru pulang. Tergantung dekat atau jauhnya jarak barang yang di antarkan.
Sedangkan ibu ku adalah buruh tani. Pergi pagi pulang sore hari, kadang misalnya ada kendala di jalan ia akan sampai di rumah larut malam. Begitulah kehidupanku, yang jau akan namanya gemerlap kesenangan dunia.
Aku yang sudah 3 tahun tamat sekolah, harus berjuang hidup merantau demi kedua orang tua dan keluarga. Begitu sulitnya hidup di perantauan dengan ijasa yang hanya lulusan SMA(Sekolah Menengah Atas) di tangan. Kadang aku ingin mengeluh? Tapi demi mereka, ku tahan dan terus bersabar.
Aku begitu mencintai dunia tulis yang bisa kita sebut Sastra. Di sela-sela kesendirianku , ku luangkan untuk membuat cerita. Kubagikan ke akun media sosialku, walau masih ada yang menyukai tulisanku?
Tak banyak juga ada yang memberikan komentar-komentar pedas. Katanya, alay! Tidak sesuai realita. Lulus cuman SMA sok-sokan menulis seperti paling mengenal karya sasta. Dasar belagu! Lu.. ujar mereka.
Mendapat kritikan pedas memang begitu menyakitkan. Terkadang terpikir, ingin membalasnya juga dengan ujaran kebencian. Tapi percuma saja, semua yang dikatakan mereka ada benarnya. Aku hanyalah Lulusan SMA yang tidak memiliki gelar. Bila bekerja, paling hanya bisa menjadi OB Kantor atau Sekuriti.
Begitu pedihnya melawan takdir. Apakah sebuah embel-embel dari gelar merupakan hal yang paling utama menopang kehidupan? Tanyaku pada hati kecil. Apa salahnya mencintai Sastra? Bukankah sastra mengajarkan keindahan. Lalu apa salahnya? Hatiku makin lirih.
Mungkin memang benar! Hidup dengan sebuah gelar di ujung nama itu hebat. Tapi apakah sebuah keahlian harus memiliki gelar? Agar dapat di terima di masyarakat. Bingung merasuk di pikiranku. Terkadang ku berpikir tuhan tak adil? Mengapa sebuah gelar hanya bisa di capai pada mereka yang ber-uang. Lalu bagaimana nasib kami, yang ingin mencapai gelar itu? Tapi tak terjangkau akibat tidak adanya uang.
Aku masih melamuni wajah malam, sendirian. Menantikan mereka yang dapat memberikan solusi, menambahkan wawasan hidup di dalam diri. Malam ini gelap menurutku, aku menangis pun? Mungkin tidak akan ada orang yang tau.
Rembulan terlihat mulai enggan menampakkan sinarnya, dan menutupi diri dengan awan hitam yang melapisi wajahnya. Kini dia (rembulan) menghilang bersama keheningan. Tidak ada lagi cahaya, yang menghasilakan tawa-riang. Semua lenyap dan menghilang.
Ku ambil smartphone yang tergeletak dari tadi di depanku. Ku hidupkan sebuah musik melo untuk menemani kesendirian. Mencoba menenangkan diri dari semua tuntutan hidup. Apakah yang akan terjadi pada anak manusia ini? Tanya hatiku. Â