Hujan kini sedang mengguyur kota Yogyakarta (saat tulisan ini dibuat). Jaringan telepon tidak bekerja dengan baik, itulah mengapa saya bisa mengetik tulisan amburadul ini. Ya, saya adalah seorang mahasiswa yang bekerja secara part-time sebagai telemarketing di salah satu perusahaan swasta di Yogyakarta.
Cerita ini akan dimulai dari saya berangkat bekerja menggunakan jasa transportasi Trans Jogja.
Shelter bus yang biasanya terlihat penuh sesak (karena terlalu kecil) terlihat sangat longgar. Sepasang mata ini menangkap sesosok orang berkulit keriput dan rambut yang sudah 75 persen lebih beruban. Sempat aku melihat senyum tulus darinya yang kemudian aku balas tersenyum, walaupun tidak semanis yang nenek itu berikan. Saya mulai teringat kepada masa-masa dimana saya tinggal berdua dengan (Almh) Eyang saya di Karanganyar; Kota tertimur dari eks-karisedenan Surakarta. Saya hanya berfikir sejenak, tetangga saya saja yang biasa saya sapa, mereka hanya mendongkan kepala sedikit keatas, atau memalingkan sedikit kesamping, seolah olah saya tidak hadir disitu.
Saya terkadang berfikir, kenapa mereka tidak mau membalas sapaan dari saya. Apakah sapaan saya kurang terdengar? Atau mungkin senyum saya kurang manis? *Eh* Tapi kan setidaknya saya masih terlihat disitu. Jangankan tersenyum, melihat saja mereka enggan. Yah, tapi saya mulai terbiasa dengan keadaan itu. Mungkin saya hanya perlu beradaptasi saja, maklum saya bukan orang asli Yogyakarta.
Kembali ke sang nenek yang sempat saya tinggalkan di shelter karena terlalu sibuk bercerita tentang tetangga. *Hehehe* Sang nenek tampak begitu antusias sekali menunggu bus, walaupun sudah cukup lama beliau menunggu, tapi saya tidak melihat ada raut wajah kesal dimukanya. Nenek itu membawa satu ember kecil dan juga satu tas, tak lupa juga satu kain jarit beliau sampurkan di pundaknya, entah apa yang beliau bawa. Tapi sepertinya beliau pulang dari pasar. *Asal tebak lho*
Akhirnya bus yang kami tunggu pun datang. *Oh iya, tadi sembari saya memperhatikan si nenek ada 2 orang lain yang ikut masuk ke shelter untuk mengantri bus*. Biasanya, kalau seseorang menunggu bus terlalu lama, ketika bus itu datang mereka langsung menyerobot masuk. *Jangankan menunggu lama, menunggu sebentar aja main serobot*. Kaki saya sering terinjak dalam proses penyerobotan itu, parahnya saya yang kala itu memakai sandal jepit harus mengalami putus sandal. *Malang dan malunya diriku*.
Oke oke, jangan marah marah dong karena saya sibuk menceritakan diri sendiri. :D
Kembali ke sang nenek, ternyata beliau dengan sabar menunggu semua penumpang turun dulu dari bus, setelah semua penumpang turun barulah dia masuk kedalam bus yang saya ikuti dari belakang. Beliau duduk disamping saya berjarak satu. *Maksudnya nenek – penumpang lain – saya*. Oke, tampak beliau menyapa orang yang duduk disebelahnya dan disebelahku. *Penumpang diantara kami maksudnya*
Sebenarnya ceritanya masih panjang. Berhubung takut ketauan pak bos, saya akhiri saja tulisan ini. Intinya masih banyak sekali orang yang bisa kita teladani didunia. Sejahat-jahatnya dunia, tergantung dari mana kita melihatnya. Ketika ada satu orang baik dibelakang 5 orang jahat, kita akan beranggapan semua jahat, akan tetapi ketika kita mau menggunakan sudut pandang yang berbeda, masih ada orang yang baik. Ayo, belajar melihat sesuatu dengan berhikmat menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Semoga tulisan pertama ini tidak menyakitkan mata untuk dibaca. Terimakasih banyak. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H