Hubungan pemerintah Indonesia dengan Australia dan Brazil memanas. Hal ini dilatarbelakangi oleh masalah vonis hukuman mati para terpidana mati narkoba. Tony Abbot, Perdana Menteri Australia dinilai telah menyinggung perasaan bangsa Indonesia khususnya warga Aceh karena telah mengungkit-ungkit bantuan yang diberikan pada saat Tsunami Aceh tahun 2004. Masalah vonis mati terpidana narkoba “Bali Nine” juga menjadi pro-kontra di kalangan netizen Australia.
Merespon pernyataan tersebut di atas, warga Aceh mengumpulkan koin untuk Australia sebagai bentuk protes sekaligus sindiran terhadap sikap pemerintah Australia tersebut. Bahkan langkah warga Aceh tersebut diikuti oleh warga di luar Aceh sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Aceh dan sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah untuk segera mengeksekusi dua terpidana mati narkoba asal Australia, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Lobi-lobi pemerintah Australia sampai saat ini cukup berhasil menunda eksekusi mati dua warga negaranya tersebut, walau Presiden Jokowi dan Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa eksekusinya akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015.
Sikap tegas juga disampaikan oleh pemerintah Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa jika pemerintah Australia menagih bantuan Tsunami Aceh, maka pemerintah Indonesia siap mengembalikannya. Hal tersebut perlu didukung sebagai wujud menjaga harkat, martabat, dan kedaulatan bangsa dan negara. Jangan sampai bangsa Indonesia dianggap rendah oleh bangsa asing gara-gara pernah menerima bantuan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mendukung vonis mati bagi terhadap bandar narkoba karena mereka telah merusak generasi bangsa.
Di Brazil, Toto Riyanto, Duta Besar Indonesia untuk Brazil juga diusir oleh Presiden Brazil Dilma Rouseff pada sebuah acara penyerahan surat kepercayaan tanggal 20 Februari 2015 sebagai reaksi atas eksekusi napi terpidana mati narkoba asal Brazil tahap I dan pada tahap II pun ada yang menunggu dieksekusi. Sebelumnya, Brazil juga telah menarik duta besarnya dari Indonesia. Tindakan Brazil tersebut dinilai sebagai perbuatan tidak terpuji dan melanggar Konvensi Wina tahun 1969 dimana isi konvensi itu mengatur sejumlah kerja sama antarnegara, termasuk hubungan diplomatik. Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri menarik pulang Totok Riyanto ke Indonesia disertai nota protes kepada pemerintah Brazil. Selain Brazil, Belanda juga menarik duta besarnya dari Indonesia sebagai bentuk protes mereka terhadap eksekuti mati warganya.
Tindakan Australia dan Brazil tersebut dikhawatirkan akan merusak hubungan diplomatik dan berimbas kepada hubungan bilateral antara Indonesia dengan kedua negara tersebut. Apalagi hubungan antara Australia dan Indonesia sering memanas mulai dari masalah referendum Timor Leste, dukungan terhadap kemerdekaan papua barat, imigran gelap, sampai kepada penyadapan terhadap para pejabat Indonesia.
Eksekusi terpidana mati narkoba beberapa waktu yang lalu memang menjadi sorotan dunia internasional karena sudah banyak negara yang tidak lagi melakukan hukuman mati. Bahkan PBB juga meminta agar Indonesia menghentikan hukuman mati karena dinilai melanggar HAM. Walau demikian, PBB dinilai melakukan standar ganda terhadap Indonesia, karena di satu sisi meminta Indonesia menghentikan praktek hukuman mati, tetapi di sisi lain, tidak pernah membela manakala ada warga negara Indonesia yang disiksa atau diancam dihukum mati di luar negeri.
Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, yaitu negara Indonesia bebas melakukan kerjasama dengan negara manapun dan aktif berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Selain itu, sesuai semangat para pendiri bangsa, Indonesia mencintai perdamaian tetapi lebih mencintai kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dalam menanggapi tindakan dari pemerintah Australia dan Brazil. Pada masa Orde lama, Indonesia pernah keluar dari PBB karena menilai PBB sebagai antek-antek liberalisme dan kapitalisme yang dikomandoi Amerika Serikat, walau Indonesia masuk lagi menjadi anggota PBB.
Peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Data BNN tahun 2014 menyatakan bahwa jumlah pengguna narkoba di Indonesia sebanyak 5,4 juta orang dan korbannya didominasi kalangan remaja. Setiap hari 50 orang mati karena narkoba. Generasi muda Indonesia secara pelan tapi pasti terus dirusak oleh narkoba. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, perang terhadap narkoba harus terus ditingkat oleh aparat terkait.
Indonesia bukan lagi menjadi daerah transit narkoba, tetapi juga telah menjadi produsen narkoba. Bahkan, Badan Narkotika Nasional (BNN) pernah menggerebek Pabrik ekstasi terbesar di wilayah Tangerang Banten. Jaringan narkoba banyak memanfaatkan warga-warga negara Indonesia menjadi kurir narkoba internasional, memperistri perempuan Indonesia, dan menjadikannya sebagai kurir narkoba. Dan ironisnya, napi narkoba kakap masih bisa mengendalikan bisnis narkoba dari balik penjara. Hal ini menandakan bahwa hukuman kurungan belum memberikan efek jera terhadap bandar narkoba.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Penulis berpendapat bahwa hukuman mati bagi napi narkoba utamanya bagi bandar-bandar besar narkoba harus ditegakkan karena dia telah meracuni dan sekaligus membunuh secara pelan-pelan sekian juta generasi bangsa. Bangsa ini darurat bahaya narkoba. Indonesia terancam lost generation akibat narkoba. BNN menyatakan tahun 2014 sebanyak dua juta orang korban narkoba tidak bisa disembuhkan. Hal ini tentunya merupakan sebuah kerugian yang sangat besar bagi bangsa Indonesia.
Menghilangkan satu nyawa yang telah merusak banyak nyawa menurut Penulis tidak melanggar HAM. Kita jangan hanya berpikir dari perspektif hak hidup terpidana narkoba, tapi juga perspektif korban-korban narkoba. Walau pun pemerintah Australia menentang hukuman mati bagi terpidana mati narkoba di Indonesia, tetapi orang tua yang anaknya meninggal karena narkoba mendukung hukuman vonis mati tersebut.
Ekspose media juga mengadakan siaran live detik-detik eksekusi terpidana mati narkoba membuat hal ini menjadi kegaduhan di masyarakat. Akibatnya, dunia internasional pun ikut menyoroti masalah ini. Penulis berpendapat bahwa eksekuti mati tidak perlu terlalu diekspose di media supaya tidak menyebabkan polemik, dipolitisasi, atau diintervensi oleh negara-negara asing, LSM yang bergerak dalam bidang HAM, bahkan PBB sekalipun. Sepanjang aturan-aturan hukumnya sudah dipenuhi, pemerintah tidak perlu ragu-ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap napi narkoba.
Selain pemberantasan narkoba semakin ditingkatkan, hal yang juga penting dilakukan juga adalah rehabilitasi terhadap korban-korban narkoba, sosialisasi terhadap bahaya narkoba melalui berbagai program, termasuk pendidikan antinarkoba di sekolah dan Perguruan Tinggi. Orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap narkoba pun perlu dilibatkan agar pencegahan dan pemberantasan narkoba dapat berjalan secara sinergis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H