Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

THR dan Mentalitas Meminta

24 Juni 2016   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2016   17:01 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
THR. (Ilustrasi : http://hptabletandroid.com/)

“Mana THR-nya atuh? Sebentar lagi ‘kan lebaran.” Kalimat tersebut meluncur dari seseorang yang meminta THR kepada temannya yang berpapasan di jalan. Sambil senyum musam-mesem, orang yang diminta pun menjawab“Tenang, bisa diatur, nanti kukasih setelah THR dari kantorku cair.” Sebelum berpisah, sang peminta THR mengingatkan, “Oke deh, jangan lupa ya. Nanti aku tagih lokh. Hehe....”

Menjelang lebaran, kalimat tersebut mungkin saja semakin banyak terucap karena lebaran identik dengan Tunjangan Hari Raya (THR). Setelah sekian tahun tidak dapat THR, tahun ini PNS, anggota TNI, Polri mendapatkan THR dari pemerintah, sedangkan karyawan swasta dan buruh memang sudah biasa mendapatkan THR. 

Di kalangan keluarga dan masyarakat pun dikenal istilah “THR”, misalnya dari anak kepada orang tua, dari kakak kepada adik, atau dari anggota keluarga yang dianggap mampu kepada anggota keluarga yang kurang mampu. Istilah “THR” di sini lebih kepada berbagi rezeki antaranggota keluarga. Bukankah hidup memang wajib saling berbagi?

THR menjadi kata yang sangat populer menjelang lebaran. Istilah THR mungkin hanya dikenal di Indonesia, sementara di negara mungkin ada istilah lain, tapi substansinya sama, yaitu bonus atau dana tambahan menjelang hari raya. THR identik dengan uang, paket, atau parsel.

Tidak dapat dipungkiri bahwa menghadapi lebaran, beban pengeluaran semakin besar. Selain untuk kebutuhan sehari-hari seperti buka puasa dan sahur, juga untuk membeli kebutuhan lebaran, seperti pakaian, kue, dan biaya mudik. Oleh karena itu, selain mengandalkan gaji, para pegawai juga mengharapkan THR dari perusahaan atau majikannya.

Kementerian Tenaga Kerja mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada karyawannya, dan akan diberikan sanksi jika tidak memberikan THR. Bahkan dibuat posko pengaduan THR bagi karyawan yang tidak mendapatkan THR dari perusahaan.

Pada dasarnya pemberian THR sah-sah saja sepanjang dasar hukum dan anggarannya ada, bahkan wajib diberikan kepada pegawai. THR selain untuk membantu beban pengeluaran lebaran, juga untuk memberikan kebahagiaan kepada para pegawai menjelang perayaan Idul Fitri. Perusahaan mengeluarkan sekian persen keuntungannya untuk berbagi kepada karyawan.

Perusahaan bukan hanya menuntut karyawan untuk bekerja keras mendatangkan keuntungan bagi pengusaha, tetapi juga wajib memperhatikan kesejahteraan karyawannya, antara lain dengan memberikan THR. Di balik seorang karyawan, ada sekian orang anggota keluarga yang harus dihidupi, dan ingin berbagi dengan orang tua dan sanak saudara di kampung. Oleh karena itu, adalah hal yang sangat wajar mereka mengharapkan THR. Walau demikian, THR harus digunakan secara bijak dan diatur dengan baik agar tidak melahirkan budaya konsumtif.

Yang menjadi persoalan adalah ketika banyak pihak yang tidak ada kaitan atau tidak memiliki hubungan kerja meminta THR. Hal tersebut tentunya akan memberatkan pihak yag dimintai THR. Di lingkungan sekolah, instansi pemerintah, pabrik, dan pusat-pusat perdagangan banyak yang meminta THR, baik melalui surat resmi atau meminta secara langsung. Ada yang meminta secara baik-baik, malu-malu, basa-basi, tapi ada juga yang memaksa.

Menjelang lebaran, seolah-olah ada semacam kewajiban bagi instansi atau pengusaha memberikan THR kepada pihak yang menyampaikan permohonan THR. Kadang ada semacam dilema, mau memberi tidak ada anggarannya, tetapi jika tidak memberi akan berdampak negatif bagi perusahaannya, misalnya usahanya diganggu atau terjadi tindakan kriminalitas padanya. Hal ini membuat pimpinan instansi, kepala sekolah, dan pengusaha pusing.

Tindakan memaksa meminta THR adalah perilaku yang melanggar hukum. Pihak yang merasa dirugikan bisa melaporkan kepada aparat yang berwajib. Mental bangsa Indonesia memang pada umumnya, lebih senang menerima daripada memberi, padahal dalam ajaran Islam disebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun