Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggung Jawab Sosial Kaum Intelektual

1 Maret 2017   20:03 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:35 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah relawan sedang mengajari anak-anak membaca (Foto : http://dinkesos.babelprov.go.id)

Pada seminar dengan tema “Penguatan Peran Alumni sebagai Intelektual Publik” yang diselenggarakan oleh Prodi Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan, pada tanggal 25 Februari 2017, Guru Besar UPI, Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si sebagai keynote speaker menyampaikan bahwa lulusan yang perlu diberi penghargaan bukan hanya lulusan dengan IPK tertinggi atau yang berkaitan dengan prestasi akademik saja, tetapi juga lulusan yang mau berkeringat mengabdi kepada masyarakat, karena itulah sejatinya kiprah nyata seorang kaum intelektual dalam pembangunan bangsa.

Kaum intelektual sejatinya tidak hidup di menara gading, tetapi sejatinya harus membumi. Hidup berbaur dan membumi  bersama masyarakat, menjadi agen perubahan (agent of change), dan berpartisipasi mencari alternatif solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya, bukan sebaliknya menjadi benalu di tengah-tengah masyarakat.

Di lapangan, kaum intelektual memiliki idealisme, tapi banyak yang tidak disertai logistik yang memadai. Idealisme tanpa disertai logistik yang memadai memang menyebabkan idealisme tidak dapat dieksekusi. Oleh sebab itu, kaum intelektual tidak dapat menjalankan peran sosialnya seorang diri, tetapi harus merangkul dan masuk ke berbagai pemangku kepentingan. Lahirlah istilah aktivis yang bergabung dalam berbagai organisasi, komunitas, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Walau demikian, ada juga kaum intelektual yang memiliki militansi dan bermodal nekat memberdayakan masyarakat. Awalnya dianggap mustahil dan disepelakan, tetapi pada akhirnya berhasil dan mampu membuat perubahan dalam masyarakat. Salah satu contoh, misalnya Indra Darmawan, seorang sarjana “sampah” dari Cihampelas Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat yang justru menjadikan sampah sebagai berkah dan menjadikan penghasilan bagi warga sekitar.

Upayanya tersebut disamping bernilai sosial dan ekonomi, juga bernilai lingkungan, dimana sampah-sampah di sungai Citarum jadi ikut dibersihkan, dipilah, diangkut, dan dikumpulkan menjadi barang rongsokan, dan selanjutnya diolah agar memiliki nilai tambah ekonomi ketika dijual. Begitu pun eceng gondok dijadikan sebagai bahan kerajinan seperti hiasan, tas, kursi, dan sebagainya. Indra bermitra dengan PT Indonesia Power dan instansi lainnya dalam melakukan upaya tersebut. Atas semua kerja keras dan dedikasinya, Indra Darmawan mendapatkan banyak penghargaan dan menjadi tokoh yang inspiratif bagi kalangan Pemuda.

Saya pun jadi teringat kepada kisah Butet Manurung yang mengajar suku anak dalam di Jambi, tukang hordeng di Majalaya Kab. Bandung yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli buku-buku untuk perpustakaan pribadinya, sopir angkot Soreang-Leuwipanjang di Bandung yang dikenal sebagai “angkot literasi” menyediakan buku-buku bacaan di dalam mobilnya, buruh bangunan di Cirebon yang menyediakan perpustakaan keliling, dan tentunya masih banyak kisah-kisah inspiratif lainnya yang menggugah rasa kemanusiaan kita.

Berkaitan dengan tanggung jawab kaum intelektual, Ikatan Alumni (IKA) memiliki peranan yang strategis. IKA dapat menjalankan peran sosialnya melalui berbagai aktivitas sosial, melakukan kajian terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat, atau memberikan, saran, kritik terhadap sebuah kebijakan publik. Dengan kata lain, keberadaan IKA dapat berkonstribusi terhadap pembangunan melalui berbagai cara, sesuai dengan kapasitas, dan kemampuannya.

Dalam menyelenggarakan kegiatan sosial, para alumni ada yang siap dengan pemikiran, ada yang siap dengan tenaga, dan ada yang siap dengan materinya. Ketiga unsur ini harus bersatu dan saling mendukung. Kiprah positif IKA di tengah-tengah masyarakat disamping mengharumkan nama IKA, hal itu pun akan mengharumkan nama baik Perguruan Tinggi tempatnya berasal.

Perguruan Tinggi adalah tempatnya untuk menghasilkan kaum intelektual yang disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan, juga memiliki kepribadian dan kepedulian terhadap masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya. Setiap sarjana yang lulus kuliah, rata-rata yang dipikirkannya adalah mencari pekerjaan. Hal tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Pekerjaan akan mendatangkan gaji dan penghasilan. Dengan penghasilan yang dimilikinya, selain untuk mencukupi kebutuhan pribadinya, juga untuk membantu sesama.

Selain mencari kerja, seorang kaum intelektual juga harus mampu menciptakan lapangan kerja sendiri alias berwirausaha ditengah semakin sulitnya lapangan kerja. Dengan berwirausaha, akan mengurangi pengangguran yang diharapkan juga mampu membuka  lapangan kerja bagi yang lainnya. Itulah salah satu potret tanggung tanggung jawab kaum intelektual walau harus diakui dalam prakteknya tidak mudah.

Penulis, Ketua KPLJ, Sekretaris IKA Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun