Tanggal 1 Okrober 2014 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 dilantik dan diambil sumpahnya. Dengan didampingi rohaniawan dan dipayungi kitab suci masing-masing agama, mereka diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) RI. Pengambilan sumpah juga disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia yang menonton melalui TV.
Pengambilan sumpah tersebut dapat dibaca sebagai sebagai sebuah kontrak moral antara dirinya dengan Tuhan YME dan kontrak sosial dengan rakyat yang memilihnya. Melalui sumpah yang diucapkannya, para anggota DPR terpilih tersebut dapat bekerja dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Selalu ingat terhadap janji-janjinya saat kampanye dan mewujudkannya dalam aksi nyata.
Berkaitan dengan sumpah yang diucapkan oleh para anggota DPR terpilih, ada pandangan yang disampaikan oleh Imam Besar Mesjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Yakub. Beliau berpendapat bahwa sumpah yang diucapkan oleh mereka, khususnya yang beragama Islam tidak bisa disebut sumpah karena dalam ajaran Islam yang disebut sumpah jika diawali dengan kata wallaahi, billaahi, atau tallaahi sementara sumpah yang diucapkan oleh mereka hanya diawali dengan kata “Demi Allah”.
Sumpah yang diucapkan harus di depan rakyat atau konstituen yang memilihnya atau yang memberikan mandat kepadanya, bukan di depan ketua MA. Sebagai perbandingan, Beliau menyebutkan bahwa di Arab Saudi, menteri-menteri disumpah satu persatu di hadapan raja dan tidak menggunakan Al-Quran.
Berkaitan dengan kitab suci yang di payungkan kepada anggota DPR yang disumpah, Beliau mengatakan hal itu hanya untuk menakut-nakuti saja karena tidak ada aturannya sumpah harus dipayungi oleh kitab suci. Beliau juga berpendapat bahwa seharusnya dalam sumpah tersebut juga diatur sanksi yang akan diterima jika mereka tidak amanah dalam menjalankan tugas, misalnya siap mendapatkan laknat dari Allah di dunia dan akhirat.
Sejalan dengan pendangan KH Ali Mustafa Yakub, pengamat perilaku Taufik Bahaudin menilai bahwa sumpah yang diucapkan oleh para anggota DPR terpilih itu bersifat ceremonial dan basa-basi karena belum tentu diikuti komitmen dan tanggung jawab untuk bersikap dan berperilaku. Menurutnya, ada dua hal substansial yang tidak tercantum pada sumpah yang mereka ucapkan. Pertama, amanah menjalankan tugas, dan kedua, sikap antikorupsi. Kalau dua hal itu sudah disampaikan, maka secara otomatis mereka menjalan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Faktanya, walau sudah diambil sumpah, banyak wakil rakyat yang terlibat kasus korupsi. Data ICW menunjukkan bahwa sejak 2004 sampai dengan 2014, tercatat hampir 3000 anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang terlibat korupsi.
Harapan terhadap para anggota DPR akan bekerja sesuai dengan harapan rakyat dan memperbaiki citra DPR sebelumnya nampaknya akan sulit tercapai. Baru saja dilantik mereka sudah berulah. Kelakuan mereka sangat memalukan, bahkan ada yang mengatakan kampungan. Tidak salah jika almarhum Gus Dur menyebut DPR seperti TK.
Pada sidang agenda pemilihan pimpinan DPR, mereka ribut. Rapat berjalan alot sampai subuh, ricuh, penuh teriakan, hujatan, interupsi, dan puncaknya diwarnai aksi walk out dari empat fraksi yaitu, fraksi PDI-P, fraksi PKB, fraksi partai Nasdem, dan Fraksi partai Hanura. Aksi itu dilandasi oleh ketidakpuasan mereka terhadap pimpinan rapat sementara dari fraksi Golkar Popong Otje Djunjunan yang dinilai tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pendapat. Walau banyak dihujani protes dan interupsi, tetapi dengan gaya dan dialek sundanya yang khas Ceu Popong,biasa Popong Otje Djunjunan dipanggil, bisa memimpin sidang dengan tenang, bahkan sejenak bisa menghibur para anggota DPR yang tengah bersitegang.
Perebutan pimpinan DPR sangat tampak merupakan pertarungan dua kubu, yaitu koalisi Indonesia Hebat yang terdiri empat partai yaitu PDI-P, PKB, partai Nasdem, dan partai Hanura melawan Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri partai Gerindera, partai Golkar, PAN, PKS, Partai Demokrat, dan PPP. Berdasarkan UU MD3, pimpinan DPR bukan lagi otomatis menjadi hak partai pemenang pemilu, tetapi harus dipilih oleh seluruh anggota DPR. Dari rapat pemilihan pimpinan DPR saja sudah terlihat, bahwa anggota DPR hanya bereorientasi kepada kekuasaan, bagi-bagi kursi. Kepentingan rakyat dan musyawarah mufakat hanya jargon saja, prakteknya jauh dari hal tersebut. Sumpah yang diambil oleh para wakil rakyat tampak hanya basa-basi saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H