Belajar yang memerdekakan. (Ilustrasi: seputarpendidikan003.blogspot.com)
“Nak, belajarlah dengan merdeka. Jadikan sekolah sebagai taman belajarmu. Ukirlah masa depanmu di sini. Kami siap mengantarkanmu menuju tujuanmu. Ketika kalian pertama kali datang ke sini, kami menyambutmu dengan gembira, dan ketika kalian menyelesaikan studi, kami melepaskanmu dengan bangga teriring do’a semoga kalian mendapat kesuksesan dan mampu meraih cita-citamu”.
Hakikat pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan menjadi ikhtiar untuk mengubah nasib seorang manusia bahkan sebuah bangsa. Fakta empirik menunjukkan bahwa negara-negara yang maju adaah negara yang memprioritaskan masalah pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran. Pendidikan lebih menitikberatkan kepada penanaman nilai-nilai karakter dan nilai-nilai sikap dan moral, sementara pembelajaran lebih menitikberatkan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Peserta didik adalah makhluk yang unik. Mereka memiliki kecerdasan yang beragam. Mereka pun memiliki bakat dan minat yang berbeda. Oleh karena itu, mendidik para peserta didik yang memiliki beragam kecerdasan tentunya tidak dapat menggunakan satu pendekatan, perlu disesuaikan dengan gaya belajar, kebutuhan, tingkat perkembangan berpikir, situasi, dan kondisi.
Dengan kata lain, situasi belajar yang diciptakan guru perlu merasa para peserta didik merasa 'merdeka', tidak berada dalam kondisi tertekan. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan bahwa sekolah harus menjadi taman belajar. Faktanya, selama ini banyak siswa merasakan sekolah sebagai penjara sebagaimana yang disampaikan oleh Paulo Freiere, karena merasa terkungkung oleh iklim belajar yang kaku, kurang mengakomodasi bakat, minat, dan kebutuhan siswa.
Di sekolah, guru sejatinya dapat berperan sebagai orang tua sekaligus teman bagi siswa, tetapi pada kenyataannya hubungan antara guru dan siswa terkesan protokoler, birokratis, dan formal, sehingga akibatnya siswa tidak berani menyampaikan gagasan, keinginan, harapan, atau pun sekadar curhat kepada guru. Mereka lebih memilih teman mereaka sebagai tempat curhat.
Salah satu ciri sekolah yang dirasakan seperti penjara antara lain; siswa kurang semangat, siswa senang kalau guru tidak hadir di sekolah karena akan merasa bebas, tidak akan belajar. Sekolah sebagai penjara berdampak terhadap terjadinya dehumanisasi pendidikan. Dalam proses dehumanisasi pendidikan, sekolah dianggap sebagai pabrik yang memproduksi lulusan.
Proses yang terjadi adalah proses yang bersifat mekanistik, karena siswa bukan dianggap sebagai manusia, tetapi sebagai bahan baku yang siap dibentuk menjadi sebuah produk barang dengan standar yang sama, padahal sebagaimana disampaikan oleh Driyarkaya, pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia.
Sebagai manusia, siswa memiliki hati, oleh karena itu, dalam proses pendidikan, guru harus menyentuh hati mereka. Tugas guru selain berfungsi sebagai salah satu sumber belajar, juga berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Sebagai fasilitator pembelajaran, guru bertugas mengantarkan mereka menuju cita-citanya.
“Nak, belajarlah dengan merdeka. Jadikan sekolah sebagai taman belajarmu. Ukirlah masa depanmu di sini. Kami siap mengantarkanmu menuju tujuanmu. Ketika kalian pertama kali datang ke sini, kami menyambutmu dengan gembira, dan ketika kalian menyelesaikan studi, kami melepaskanmu dengan bangga teriring do’a semoga kalian mendapat kesuksesan dan mampu meraih cita-citamu.” Kalimat itulah kurang lebih lebih meluncur dari mulut seorang guru sebagai fasilitator kepada siswa-siswanya.