Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Cabai ala Bupati Purwakarta

13 Januari 2017   19:12 Diperbarui: 14 Januari 2017   11:53 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi melakukan gerakan menanam cabai bersama para pelajar Purwakarta. (Foto. Doc. Dedi Mulyadi)

Di tengah kegaduhan akibat naiknya harga cabai sampai Rp 200.000/Kg, langkah 'revolusioner' dilakukan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Ketika pejabat dan para analis berbicara tentang solusi jangka pendek mengatasi mahalnya harga cabai seperti operasi pasar, dan impor capai, serta 'menyalahkan' cuaca sebagai penyebab langkanya cabai di pasaran, Kang Dedi mengajak masyarakat Purwakarta untuk menanam cabai atau cengek.

Langkah ini diawali dari sekolah. Mengapa demikian? Pertama, untuk memberi pengetahuan dan mengajari siswa bertanam cabai. Jangan hanya bisa mengonsumsinya saja, tetapi juga harus bisa menanam, agar tidak mengeluh ketika cabai langka di pasaran. Yang saya tahu, di Purwakarta, syarat kenaikan kelas, di samping harus memenuhi syarat akademik, juga harus memenuhi syarat non akademik, yaitu seorang siswa harus menanam pohon dan bercocok tanam. Gerakan menanam cabai bisa dijadikan sebagai sarana bagi siswa untuk memenuhi unsur non akademik tersebut.

Kedua, optimalisasi halaman atau pekarangan, baik halaman sekolah maupun pekarangan rumah menjadi warung hidup. Jangan sampai ketergantungan ke pedagang di pasar atau warung. Dan Ketiga, gerakan penghijauan dengan tanaman yang produktif.

Pendidikan Karakter
Dari konteks pendidikan karakter, saya melihat bahwa hal yang dilakukan oleh Kang Dedi sebagai sebagai bagian dari pendidikan karakter. Pertama, semangat mencari solusi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Aa Gym, bahwa ketika salah satu bentuk semangat yang ditumbuhkan ketika ada masalah atau konflik di masyarakat adalah semangat mencari solusi. Tidak ikut-ikutan mengeluh atau mencaci maki pihak lain. Sebuah peribahasa bijak mengatakan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Artinya, daripada mengeluh atau mencaci maki, lebih baik berbuat, walau mungkin hal tersebut adalah sebuah hal yang sederhana.

Kedua,semangat menghargai proses. Gerakan menanam cabai yang dilakukan oleh Kang Dedi adalah sebuah gerakan untuk menghargai proses. Untuk menikmati cabai, tidak ujug-ujug,tapi butuh proses. Cabai harus ditanam, dirawat agar dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama, mau menunggu, sampai masa panen tiba. Tentunya sang penanam akan merasa senang kalau tanamannya tumbuh dan hasil panennya banyak.

Ketiga, mencintai dan memanfaatkan lingkungan. Salah satu masalah serius saat ini adalah kerusakan lingkungan. Lingkungan dieksploitasi dan dirusak oleh manusia, dan suatu saat bencana pun datang sebagai akibat tangan jahatnya. Dengan adanya gerakan ini, manusia dapat hidup berdampingan dengan lingkungan dan mengambil manfaatnya. Ketika tanah sudah banyak yang ditutupi semen dan paving block, maka manusia dapat bertani dengan cara menanamnya di dalam pot atau dengan sistem hidroponik.

Keempat, mengembangkan budaya agraris. Nenek moyang bangsa Indonesia di samping pelaut handal atau mengembangkan budaya maritim juga bermata pencaharian sebagai petani. Dengan adanya gerakan menanam cabai, maka Kang Dedi memperkenalkan budaya pertanian. Jangan sampai anak-anak muda jaman sekarang tidak sempat menghirup bau tanah, tidak pernah bobolokot ku leutak (badan kotor oleh lumpur), dan tidak tahu cara mencangkul. Yang mereka kenal justru gadget dan gaya hidup metropolis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2015, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014, dan pada 2015 tersisa 37,75 juta orang dan 80% usianya diatas 50 tahun. Pada umumnya mereka juga hidup miskin. Anak-anak muda tidak tertarik menjadi petani. Mereka lebih banyak pergi ke kota, mengadu nasib pada sektor informal atau menjadi buruh.

Kelima, budaya antisipatif. Saya teringat kisah nabi Yusuf AS yang menafsirkan mimpi sang raja yang bermimpi dia melihat tujuh sapi yang gemuk-gemuk dan dan tujuh sapi kurus-kurus. Nabi Yusuf AS menafsirkan bahwa akan ada masa subur semalam tujuh tahun dan masa paceklik selama tujuh tahun. Oleh karena itu, Nabi Yusuf AS meminta raja agar memerintahkan rakyatnya bertani selama masa subur untuk mengantisipasi datangnya masa paceklik. Hal yang dilakukan oleh Kang Dedi saya kira juga sebuah sebuah antisipasi agar warga Purwakarta tidak kekurangan cabai dan tetap dapat merasakan seuhah-nya (baca = pedas) cabai ketika tumbuhan tersebut langka di pasaran.

Oleh:
Idris Apandi
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun