Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Indonesia Menderita Penyakit “Kokod Monongeun”

11 Agustus 2016   10:43 Diperbarui: 11 Agustus 2016   16:30 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trial and Error. (Ilustrasi: thriveology.com)

Ada sebuah pernyataan menarik yang disampaikan oleh Prof. Mohamad Surya, pakar pendidikan yang juga pernah menjadi ketua PB PGRI (1998-2003) dan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili Jawa Barat Periode 2004-2014 pada sebuah seminar pendidikan di Garut, 10 Agustus 2016.

Beliau menyampaikan bahwa pendidikan Indonesia saat menderita penyakit 'kokod monongeun'. Kokod monongeun adalah sebuah idiom dalam Bahasa Sunda, yang artinya sebuah pekerjaan atau hal yang tidak pernah matang atau selesai karena terlalu banyak tangan (kokod) yang mengurusinya. Ganti menteri, ganti kebijakan. Itu adalah salah satu bentuk kokod monongeun yang terjadi pada dunia pendidikan saat ini. Pendidikan Indonesia banyak diintervensi oleh kokod politik dan kokod bisnis.

Di tengah-tengah perjalanan pemerintahan Jokowi saat ini, telah terjadi pergantian menteri. Anies Baswedan diganti oleh Muhadjir Effendy. Pada saat awal menjabat Mendikbud tahun 2014, Anies Baswedan menghentikan implementasi kurikulum 2013 karena dinilai belum siap, dan dilanjutkan kembali pasca revisi mulai tahun 2015.

Pasca Anies diganti oleh Muhadjir pada 27 Juli 2016, implementasi kurikulum 2013 masih jadi pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Kemendikbud. Dan belum juga urusan implementasi secara matang dilakukan, Muhadjir menyampaikan wacana Ful Day School (FDS) yang ternyata mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat. Muhadjir diminta untuk mengkaji efektivitas FDS sebelum diterapkan mengingat beragamnya kondisi geografis, kondisi sekolah, dan kebijakan pemerintah daerah setempat. Daripada memunculkan wacana atau kebijakan baru, sebaiknya Muhadjir mempelajari dan melanjutkan kebijakan Mendikbud sebelumnya agar tidak muncul citra ganti menteri, ganti kebijakan.

Kokod Politik
Pada masa Orde Baru, dunia pendidikan sangat kental diwarnai dengan intervensi penguasa yang kalau istilah Prof. Surya adalah kokod politik. Antara lain, dengan dilaksanakannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).

P-4 yang pada dasarnya bertujuan baik, tetapi menjadi sarana propagada dan indoktrinasi penguasa kepada warga negara. Sedangkan PSPB sangat menonjolkan sosok Soeharto sebagai figur utama yang berjasa dalam menumpas pemberontakan G-30 S/PKI. Guru pada saat Orde Baru tidak dapat bergerak bebas. Pada saat pemilu, mereka harus memilih Golkar, dan jika tidak memilih Golkar, siap-siap saja 'ditandai' oleh penguasa.

Pada saat ini pun, kokod-kokod politik juga tetap mempengaruhi kebijakan pendidikan nasional. Gonta-gonti aturan dan gonta ganti kebijakan menjadikan pendidikan Indonesia sebagai sarana trial and error. Guru dan siswa seolah dianggap sebagai kelinci percobaan. Walau kadang menggerutu dan kesal dengan ketidakpastian kebijakan pendidikan, tetapi guru-guru, sebagai ujung tombak dan berada pada level bawah hanya bisa pasrah, mengikuti atau melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sambil berharap suatu saat muncul kebijakan yang memang benar-benar berpihak kepada mereka.

Kokod Bisnis
Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan saat ini juga telah mewarnai dunia pendidikan Indonesia, karena mahalnya dunia pendidikan, muncul istilah orang miskin dilarang sekolah. Walau pemerintah telah menggratiskan pendidikan dasar (SD dan SMP) telah dibebaskan dari pungutan, tetapi realitanya masih banyak pungutan.

Setiap awal tahun pelajaran, orang tua dipusingkan dengan biaya pendaftaran anaknya ke sekolah. Sekolah favorit atau sekolah berkualitas identik dengan biaya mahal. Praktik jual beli 'bangku' masih terjadi. Belum lagi biaya seragam, buku dan segala tetek bengeknya. Orang tua dijadikan komoditas bisnis sekolah. Walau sekolah dilarang menjual buku atau LKS kepada siswa, tetapi faktanya masih terjadi.

Solusinya?
Agar pendidikan Indonesia tidak lagi terjangkiti penyakit 'kokod monongeun', maka para pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia harus melepaskan diri dari kokod politik dan kokod bisnis. Kebijakan pendidikan murni disusun dan diimplementasikan atas dasar untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Oleh:
IDRIS APANDI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun