Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Ustadz, Maaf Saya Hanya Mampu Berkurban Seekor Ayam

12 September 2016   23:26 Diperbarui: 13 September 2016   16:49 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekuatan memberi. (Ilustrasi : fuadlatip.com)

Bertepatan dengan hari raya idul kurban, ada seorang nenek miskin datang ke rumah ustadz. Sang nenek berkata: “Pak Ustadz, Saya ingin sekali berkurban, tapi uang Saya tidak cukup untuk membeli kambing apalagi sapi, tapi hanya cukup untuk membeli ayam. Gimana Pak Ustadz?”

Sang ustadz dengan bijak menjawab, “nek, keinginan nenek untuk berkurban sangat mulia. Ayam yang nenek serahkan kepada Saya akan terima dan akan Saya sembelih, tapi nenek jangan pulang dulu, ayam tersebut akan Saya serahkan kembali kepada nenek untuk nenek makan, karena nenek termasuk ke dalam kelompok orang yang juga layak menerima daging kurban. Insya Allah niat baik tersebut sudah dicatat oleh Allah SWT”.

“Oh gitu ya Pak Ustadz?”tanya sang nenek. Sang ustadz meyakinkannya: “Iya nek, Insya Allah jadi amal kebaikan.” Wajah sang nenek pun sumringah, karena tahun ini dia bisa “berkurban” walau hanya dengan seekor ayam. Awalnya dia hawatir, “kurban” yang dia serahkan ditolak sang ustadz.

Ayam pun selesai disembelih. Sang ustadz menyerahkannya kembali kepada si nenek yang lugu tersebut sambil berkata; “nek, ini Saya serahkan ayam yang telah Saya sembelih. Saya do’akan semoga nenek tahun dapat berkurban kambing. Sang Nenek menanggapi: “Aamiin Yra. Terima kasih Pak Ustadz, Saya akan menabung lebih giat lagi supaya Saya bisa kurban kambing tahun depan.”

Beruntung si nenek bertemu dengan ustadz yang bijak, bukan ustadz kaku, yang asal menolak dengan mengeluarkan sederet dalil yang tidak dipahami oleh sang nenek. Terbayang sang nenek begitu sedih karena niat baiknya ditolak sang ustadz. Adalah benar dalam konteks fiqih, kurban kambing untuk satu orang, dan sapi untuk tujuh orang. Hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Walau demikian, dalam konteks membangun kesadaran sosial, niat sang nenek untuk berkurban meski tidak memenuhi syarat, merupakan hal yang sangat baik. Pesan moralnya adalah, meski hidup kekurangan, masih ada orang miskin yang ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Dia boleh miskin, tetapi hatinya kaya.

Kondisi yang saat ini banyak terjadi justru sebaliknya, banyak orang kaya tapi hatinya miskin, sehingga merasa selalu kurang, tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, dia tamak, senang menumpuk dan memamerkan harta kekayaannya, korupsi, dan sangat sulit untuk berbagi kepada kaum dhuafa.

Pelajaran lain dari kisah tersebut adalah para pemuka agama atau ustadz perlu berdakwah dengan bijak, lembut, dan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami, disesuaikan kata-kata atau kalimat yang disesuaikan dengan usia, latar belakang pendidikan, latar belakang sosial-budaya, dan latar belakang pekerjaan. Dakwah bil hikmahatau dakwah dengan cara yang arif dan bijaksana akan lebih mudah dicerna oleh pihak yang menerimanya. Dan mereka pun tidak merasa digurui.

Jika kita mengacu kepada sejarah penyebaran agama Islam ke seluruh dunia pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah, serta penyebaran agama Islam di nusantara oleh para Wali, menggunakan metode dakwah bil hikmah sehingga Islam dapat diterima dengan cepat oleh masyarakat.

Halal adalah sesuatu yang jelas, begitu pun haram adalah suatu yang jelas alias tidak ditawar-tawar lagi, tetapi gaya dakwahnya tidak perlu disampaikan secara kaku dan menghakimi sehingga menyebabkan ada pihak-pihak yang tersinggung. Bukannya simpati yang diterima, tetapi justru sikap antipati yang muncul. Para da’i harus mencontoh Rasulullah SAW yang berdakwah dengan sangat sabar dan penuh teladan.

Saat ini justru cukup banyak mimbar dakwah yang bersifat provokatif, menyebarkan kebencian kepada penganut agama lain atau pihak yang berbeda pandangan sehingga umat pun bukannya dibuat menjadi “sejuk” tetapi justru dibuat menjadi “panas”. Dan kadang mimbar dakwah pun disusupi kepentingan politik, sehingga suasana ibadah atau pengajian tak ubahnya seperti mimbar politik.

Dakwah memang adalah sarana amar makruf nahyi munkar atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan, tapi perlu disampaikan dengan cara yang simpatik, santun, dan menjunjung tinggi etika. Alangkah baiknya dakwah dijadikan sebagai ajang untuk mengajak masyarakat disamping untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, juga mengajak untuk bersatu, tidak berpecah belah, mencintai perdamaian, dan saling menghormati perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun