Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menimbang Efektivitas Sekolah Lima Hari

12 Juni 2017   02:37 Diperbarui: 12 Juni 2017   20:50 2632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Murid-murid SDN 2 Cakranegara.(KOMPAS.com/ Karnia Septia)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi membuat kebijakan bahwa mulai tahun ajaran 2017/2018 akan memberlakukan sekolah lima hari dengan sistem full day school (FDS). Adapun yang menjadi dasar kebijakan tersebut adalah, pertama, sesuai dengan jam kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana seorang ASN harus bekerja selama delapan jam per hari, di mana dengan lima hari kerja, maka sudah terpenuhi 40 jam kerja.

Dengan kerja 40 jam yang terpenuhi selama lima hari kerja, pada hari Sabtu guru dapat beristirahat atau melakukan aktivitas lainnya. Dan kedua, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkumpul dan beraktivitas bersama keluarga di hari libur. Kebijakan tersebut sepintas memang terlihat akan meringankan tugas guru dan siswa serta mengurangi beban operasional sekolah, tetapi kalau jika dikaji lebih jauh, maka akan menimbulkan masalah tersendiri, baik bagi guru, siswa, maupun sekolah secara keseluruhan.

Bagi guru, harus mengajar delapan jam per hari bukanlah pekerjaan ringan. Mereka harus berhadapan dengan sekian banyak siswa di sekian banyak kelas dalam sehari. Terbayang stamina mereka akan terkuras mengajar dari pagi sampai dengan sore. Guru bukan berhadapan dengan benda mati atau mesin yang sewaktu-waktu bisa didiamkan, kalau capek bisa dimatikan, atau ditinggalkan begitu saja, tetapi berhadapan dengan benda hidup, yaitu siswa, manusia yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka tetap butuh bimbingan guru ketika belajar.

Selain stamina guru yang terkuras, stamina siswa pun akan terkuras serta berisiko mengalami kebosanan dan kejenuhan. Akibatnya, mereka mengantuk dan kurang konsentrasi ketika belajar. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pembelajaran kurang efektif.

Sekolah lima hari kerja jangan hanya sekadar memindah-mindahkan jam pelajaran yang asalnya enam hari menjadi lima hari karena hanya akan menjadi masalah baru. Belum lagi penempatan jadwal yang bisa saja bentrok antarguru. Dan tidak semua guru berstatus ASN, banyak juga guru yang berstatus honorer dan mengajar di beberapa sekolah.

Kondisi daerah dan sekolah sekolah yang beragam pun perlu menjadi bahan pertimbangan. Bagi sekolah yang guru dan sarana prasarananya mencukupi, mungkin saja dapat melaksanakan FDS dengan baik, tetapi bagi sekolah yang kondisi sarprasnya terbatas, hal ini dapat menjadi persoalan. Bahkan saat ini masih ada sekolah yang memberlakukan KBM dua shift, yaitu pagi dan siang karena keterbatasan ruang kelas.

Urusan konsumsi pun dapat menjadi persoalan. Adanya kewajiban harus KBM selama delapan jam sehari menyebabkan baik guru maupun siswa harus makan siang di sekolah. Hal ini dapat menjadi masalah karena tidak semua siswa dibekali uang jajan yang cukup oleh orang tuanya atau tidak semua siswa dibekali makanan dari rumahnya masing-masing. Dengan kata lain, konsekuensi dari FDS adalah adanya biaya tambahan baik bagi guru maupun bagi siswa. Biaya operasional sekolah pun akan meningkat karena tentunya pemakaian listrik dan air pun akan meningkat.

Kondisi daerah desa dan kota pun perlu menjadi pertimbangan. Bagi masyarakat perkotaan, FDS sangat membantu orang tua karena seharian anak beraktivitas di sekolah. Peran sekolah di samping sebagai tempat belajar, juga seperti tempat penitipan anak karena orang tua sibuk bekerja. Mereka baru bisa bertemu hanya pada saat sore hari. Sedangkan di desa, setelah seorang anak belajar di sekolah dari pagi sampai dengan siang, lalu pada siang sampai dengan sore hari mereka membantu orang tua atau mengaji di madrasah. Mereka pun dapat bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman bermainnya di kampung.

Kaitannya dengan akses angkutan, di daerah perkotaan tidak ada masalah walau sekolah sampai dengan sore hari karena angkutan mudah dijumpai, tetapi bagi yang sekolah di desa atau daerah terpencil, angkutan pada sore sudah sulit untuk dijumpai. Hal ini pun akan berdampak terhadap rasa aman dan nyaman para siswa. Walau siswa banyak membawa sepeda motor, secara normatif itu menyalahi aturan karena mereka belum berumur 17 tahun dan belum memiliki SIM. Selain itu, rawan kecelakaan dan rawan tindakan kejahatan.

Adapun pada hari Sabtu di mana diharapkan antara orang tua siswa dapat berkumpul, pada kenyataannya tidak demikian, karena banyak orang tua yang bekerja pada hari Sabtu alias tidak libur atau lembur. Oleh karena itu, percuma saja kalau pada hari Sabtu, anaknya libur sedangkan orang tuanya tidak libur.

Dari konteks psikologis, aktivitas anak selama seharian akan menyebabkan tubuh mengalami kelelahan, menyebabkan komunikasi antara anak dengan orang tua kurang optimal. Meski mereka bertemu pada waktu malam dengan orang tuanya, tetapi dalam kondisi badan yang sudah loyo, tentunya kualitas komunikasinya menjadi kurang berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun