Judul tulisan tersebut terinspirasi oleh pernyataan yang disampaikan oleh Mendikbud Anies Baswedan pada wawancara di sebuah Stasiun TV swasta pagi ini (25/06/2016).Â
Mengapa Mas Menteri mengatakan demikian? Karena Beliau menilai bahwa banyak hal diluar akal sehat yang terjadi di sekolah, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Masa Orientasi Peserta Didik Baru Baru (MOPDB), dimana kegiatan tersebut masih banyak diwarnai oleh tindak kekerasan, perpelocoan, dan tugas-tugas di luar akal sehat, seperti menghitung garam, pasir, gula, membawa benda-benda yang tidak ada relevansinya dengan proses pendidikan di sekolah.
Tindak kekerasan dan perpeloncoan yang terjadi pada saat MOPD banyak dilakukan oleh oknum senior yang dilibatkan menjadi panitia MOPD, sementara Kepala Sekolah dan guru kurang memantaunya. Akibatnya, mereka dapat berbuat seenaknya sesuai dengan keinginan mereka.Â
MOPD dijadikan ajang balas dendam karena mereka juga dulu pernah diperlakuan serupa para senior mereka. Oleh karena itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, Mendikbud menginstruksikan kegiatan MOPD harus dilaksanakan oleh guru, tidak boleh lagi melibatkan senior.Â
Jadwal kegiatan MOPD disesuaikan dengan jadwal KBM, dan tidak ada pengondisian-pengondisian khusus, seperti harus masuk lebih pagi, harus menggunakan kostum khusus, ada acara malam, dan sebagainya. Jika di sekolah masih ada praktik-praktik seperti itu, maka Kepala Sekolahnya akan diberi sanksi tegas.
Mendikbud Anies Baswedan telah menerbitkan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru. Pada pasal 2 disebutkan bahwa Pengenalan lingkungan sekolah adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur sekolah. Pengenalan lingkungan sekolah wajib berisi kegiatan yang bermanfaat, bersifat edukatif, kreatif, dan menyenangkan.
Pengenalan lingkungan sekolah bertujuan untuk; (1) mengenali potensi diri siswa, (2) membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah, (3) menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru, (4) mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya, (5) menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
Mengacu kepada hal tersebut, para siswa baru tersebut dibaratkan sebagai anggota keluarga baru yang masih awam dengan lingkungan sekolah. Oleh karena itu, mereka perlu disambut oleh Kepala Sekolah, guru, karyawan sekolah, dan kakak-kakak kelasnya dengan gembira dan penuh suka cita.Â
Ucapkan selamat datang, salami, persilakan masuk, dan perkenalkan lingkungan sekolah kepada mereka, bukan justru dipelonco. Dengan demikian, para peserta didik baru tersebut merasa diterima sebagai angota keluarga baru sekolah, mendapat kesan positif, dan pengalaman yang menyenangkan sehingga mereka siap untuk belajar di sekolah tersebut. Itulah makna mengembalikan akal sehat yang dimaksud oleh Mas Menteri dalam penafsiran saya.
Pembelajaran yang berbasis kepada penggunaan akal sehat tentunya akan melahirkan lulusan yang juga memiliki dan mampu menggunakan akal sehat dalam kehidupannya.Â
Berbagai masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah bangsa Indonesia saat ini salah satunya disebabkan karena kurang digunakannya akal sehat dalam menyelesaikan permasalahan. Masyarakat kita lebih mengedepankan emosi dan egoisme dibandingkan dengan akal sehat sehingga mudah sekali terprovokasi dan berbuat anarki.