Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Memanusiakan” Guru Honorer

15 September 2015   17:13 Diperbarui: 15 September 2015   17:45 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

 

Tanggal 15 dan 16 September 2015 guru-guru, khususnya guru honorer melakukan aksi unjuk rasa ke Istana Presiden di Jakarta. Dalam aksinya, para guru honorer menuntut agar pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru honorer, memprioritaskan untuk mengangkat guru honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan sejumlah tuntutan lainnya.

Realita menunjukkan bahwa kondisi guru honor masih memperihatinkan. Mereka banyak yang menerima honor hanya 300 ribu per bulan. Honor tersebut sangat jauh dari upah layak, dan tidak mencapai UMP. Ketika upah buruh sudah mencapai 1-2 jutaan per bulan, honor guru honorer masih sangat minim, padahal rata-rata mereka berlatar belakang pendidikan Sarjana (S-1). Bahkan saat ini, ada guru honorer yang berbulan-bulan belum mendapat honor karena tersendatnya pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Walau demikian, mereka masih bertahan mengajar dan mencerdaskan anak didik karena panggilan nurani, mencintai pekerjaan, dan karena tidak pilihan pekerjaan lain.

Perhitungan honor guru honorer memang sangat tidak rasional dan tidak manusiawi. Mereka bekerja selama satu bulan, tetapi dibayar hanya untuk satu minggu. Misalnya, seorang guru honorer memiliki kewajiban mengajar 24 JP/ minggu, kalau ditotal beban kerjanya dalam satu bulan adalah 24 JP x 4 minggu = 96 JP, dan honor per jam-nya Rp 10.000,-. Idealnya guru honorer tersebut menerima honor adalah 96 JP x Rp 10.000,- = Rp 960.000,- tetapi faktanya yang dihitung hanya 24 JP x Rp 10.000,- = Rp 240.000 per bulan. Belum lagi tugas-tugas tambahan yang dibebankan kepada guru honorer seperti menjadi wali kelas, pembina kegiatan ekstrakurikuler, bendahara BOS, atau menjadi operator sekolah dimana mereka tidak mendapatkan honorer tambahan.

Guru honorer sebenarnya sudah sering melakukan aksi unjuk rasa menyuarakan keluh kesah dan harapannya kepada pemerintah, tetapi persoalan guru honorer belum tuntas, nasib mereka belum kunjung membaik. Walau pemerintah sudah mengangkat sebagian guru honorer K-2 menjadi CPNS, tapi nasib guru honorer yang lainnya masih memprihatinkan. Walau pun pemerintah mengklaim bahwa jumlah guru PNS sudah mencukupi, bahkan melebihi kebutuhan, tapi de facto, guru honorer dibutuhkan oleh sekolah-sekolah, utamanya pada jenjang Sekolah Dasar (SD).

Berdasarkan data Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), rasio perbandingan guru dan murid terendah di dunia. Hal itu dipengaruhi oleh perekrutan guru yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan melampaui jumlah pendaftaran murid di segala tingkat pendidikan. Menurut ACDP, rasio guru dan murid 1 : 20, namun dalam 10 tahun terakhir meningkat 51% sehingga rasionya 1 : 15 dan menjadi rasio perbandingan guru terendah di dunia.

Data UNESCO tahun 2014 menetapkan 1 : 26 untuk negara-negara Asia, dan 1 : 24 untuk negara-negara yang berpenghasilan menengah. Pada Permendikbud Nomor 74 tahun 2008 tentang guru pun sudah ditetapkan rasio guru dan siswa, dan guru terancam tidak akan mendapatkan tunjangan profesi jika mengajar di kelas yang jumlah siswanya di bawah rasio yang telah ditentukan.

Tahun 2013, jumlah guru di Indonesia sebanyak 2,9 juta termasuk guru honorer. Walau demikian, persebaran guru di Indonesia tidak merata, ada yang kelebihan, dan ada yang kekurangan. Oleh karena itu, muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri untuk mengelola penyebaran guru di daerah, walau pada prakteknya sulit untuk dilakukan, karena disebabkan berbagai faktor.

Guru-guru banyak yang berada di wilayah kota, sedangkan di wilayah pedesaan, wilayah 3 T (Terpencil, Terdalam, dan Terluar) kekurangan guru, sehingga menginisiasi sejumlah elemen masyarakat untuk turut andil mengajar seperti halnya “Gerakan Indonesia Mengajar” yang digagas oleh Anies Baswedan sebelum diangkat menjadi Mendikbud. Dan Kemdikbud pun saat ini membuka program mengajar bagi Sarjana yang berminat mengajar di daerah 3T.

Selain yang mengajar di sekolah-sekolah negeri, guru-guru honorer juga banyak diangkat oleh yayasan-yayasan yang mendirikan sekolah. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa kesejahteraan guru honorer bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab yayasan. Tetapi, kondisi nyata di lapangan menunjukkan tidak setiap yayasan mampu  menggaji guru honorer, bahkan ada yayasan yang hanya mengandalkan dana BOS untuk membayar honor guru honorer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun