Oleh:
IDRIS APANDI
Tidak terasa, puasa ramadhan telah memasuki hari ke-21. Sebagian ulama mengatakan bahwa sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan sebagai pembebasan dari api neraka. Pada sepuluh hari terakhir ramadhan tersebut, ada sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu malam lailatul qadar.
Waktunya kapan? Hanya Allah yang tahu. Para ulama hanya bisa menduga-duga kapan datangnya malam lailatu qadar,yaitu pada malam-malam ganjilyang ditandai dengan fenomena alam yang menyertainya. Rasulullah SAW memberikan contoh pada sepuluh malam terakhir banyak beri’tikaf dan bermunajat kepada Allah. Oleh karena itu, setiap muslim diharapkan dapat berburu malam lailatul qadar.
Pada sepulun hari terakhir ramadhan, umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa sudah disibukkan dengan hiruk pikuk persiapan lebaran, mulai dari menyiapkan logistik mudik, membeli pakaian baru, membuat kue-kue lebaran, dan sebagainya. Faktanya, di sepuluh hari terakhir ramadhan tersebut, mesjid-mesjid semakin lengang dengan jamaah yang shalat tarawih, sedangkan pasar dan mall semakin penuh dengan orang-orang yang membeli kebutuhan lebaran.
Menjelang lebaran, pegawai juga mengharapkan THR dari perusahaannya untuk menambah biaya lebaran. Biasanya jumlah THR yang diterima disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, jabatan, masa kerja, atau pertimbangan lainnya. Walau demikian, tentunya mereka berharap mendapatkan THR yang besar karena semakin besar jumlah THR yang diterima, maka semakin tebal kantong mereka.
Hiruk pikuk manusia memikirkan THR urusan dunia kadang kala melupakan “THR” yang sebenarnya telah dipersiapkan oleh Allah SWT, yaitu lailatul qadar.Lailatul qadar adalah malam dimana seorang hamba mendapatkan bonus yang sangat luar biasa, yaitu senilai beribadah seribu bulan atau sekitar 83 tahun, dan seorang manusia belum tentu diberikan umur sampai dengan 83 tahun. Dengan demikian, lailatul qadaradalah sebuah kesempatan yang sangat luar biasa bagi setiap muslim untuk menambah pundi-pundi amal ibadahnya.
Tidak salah manusia mengharapkan THR karena memang de facto membutuhkannya. Walau demikian, “THR” dari Allah, yaitulailatul qadar sebenarnya jauh sangat berharga, sehingga jangan sampai diabaikan. Dengan kata lain, THR dari perusahaan didapatkan, dan “THR” dari Allah pun diperoleh. Jika THR dari perusahaan adalah sebagai bentuk bantuan dan penghargaan dari loyalitas seorang pegawai, sedangkan lailatul qadaradalah keutamaan yang diberikan Allah kepada makhluk yang dengan penuh pengharapan dan keikhlasan bersimpuh, bersujud, dan memohon ampunan pada-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, pada sepuluh malam terakhir, setiap muslim sangat disarankan untuk mengisinya dengan i’tikaf di mesjid. Aktivitas i’tikaf diisi dengan shalat malam, tadarrus Al-Qur’an, berdo’a, berdzikir, istighfar,dan muhasabahsebagai sarana untuk memperbaiki diri. Dampak dari i’tikaf nantinya diharapkan dapat tercermin dalam peningkatan kualitas perubahan akhlak yang semakin baik. Dengan kekuasaan Allah, orang yang beribadah atau beri’tikaf bertepatan dengan malam lailatul qadar,dia akan mendapat kemuliaan beribadah selama seribu bulan.
Saya mengibaratkan lailatu qadarsebagai sebuah “THR spiritual” yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang terpilih, yaitu hamba yang dengan sepenuh hati memanfaatkan malam-malam pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan dengan beribadah pada-Nya. Walau keutamaannya sangat besar, tetapi tidak setiap muslim tertarik untuk mendapatkannya, karena tantangannya sangat luar biasa. Hanya hamba-hamba-Nya yang memiliki semangat luar biasa, mampu mengalahkan rasa kantuk dan rasa malas dalam beribadah yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, jumlahnya sangat sedikit.
Ketika THR di kantor pas-pasan untuk menutupi kebutuhan lebaran, maka lailatul qadarsebagai “THR spritual” menjadi aset atau tabungan amal ibadah bagi setiap muslim selama seribu bulan atau 83 tahun. Berbahagialah hamba Allah yang mampu mendapatkannnya.