Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Anak Bertanya tentang Hoax

24 Januari 2017   00:37 Diperbarui: 24 Januari 2017   01:16 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sebuah percakapan, seorang anak berusia sekitar delapan tahun bertanya kepada ayahya. “Ayah, kalau berita hoax itu apa?” Dengan sederhana  sang ayah menjawab bahwa berita hoax adalah berita palsu atau bohong. “Oh begitu ya yah. Terus bagaimana sikap kita kalau ada teman yang ngasih berita hoax? Tanya sang anak. Sang ayah menjawab kembali. “kalau ada teman ada memberi berita atau kabar yang kamu ragukan kebenarannya, sebaiknya kamu tanya sama ayah, ibu, atau gurumu.” Jaman sekarang kalau menyebar berita bohong bisa dihukum nak.”

Percakapan di atas menggambarkan bahwa cerita tentang berita hoax juga merambah ke anak-anak seiring dengan ramainya berita hoax di media. Pada situs Wikipedia disebutkan bahwa hoax adalah sebuah pemberitaan palsu adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu.

Sudah banyak contoh kasus dimana berita hoax menyebabkan munculnya fitnah, pembunuhan karakter, perang pernyataan di media sosial, putusnya tali silaturahim, sampai terganggunya kerukunan kehidupan masyarakat. Persaingan elit politik yang semakin meruncing diwarnai dengan semakin banyaknya berita hoax. Isu-isu SARA pun menjadi menu utama berita hoax.

Kondisi masyarakat yang “bersumbu pendek”  alias mudah marah dan mudah terprovokasi menyebabkan berita hoax sangat berbahaya. Tingginya budaya “copas dari grup sebelah” dan rendahnya literasi informasi menyebabkan dalam hitungan menit sebuah berita hoax menyebar dengan cepat  bahkan menjadi viral di medsos. Jari-jari tangan begitu “gatal” yang segera menyebar berita “penting” dan “sensasional” ingin segera diketahui oleh orang lain dan tidak berpikir dampak yang ditimbulkannya.

Sang penyebarnya pun kadang tidak membaca isi tulisannya secara keseluruhan, tetapi hanya membaca judulnya saja. Ketika judulnya dinilai menarik, maka dengan cepat disebarkan, dan parahnya lagi, penyebar hax bukan hanya dari kalangan yang berpendidikan rendah, tapi juga dari kalangan berpendidikan tinggi, kalangan yang seharusnya ikut menyaring dan mengampanyekan anti hoax.

Stabilitas politik, ekonomi, dan sosial negeri ini terguncang gara-gara hoax. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mengajak agar semua masyarakat agar tidak menyebar hoax dan mudah percaya terhadap hoax. Bahkan pemerintah melaksanakan kampanye anti hoax. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengatur ancaman hukuman bagi penyebar hoax maksimal selama enam tahun. Walau demikian, seorang peneliti Rocky Gerung mengatakan mengatakan bahwa justru pemerintah yang paling banyak menyebarkan berita hoax karena memiliki infrastrukturnya seperti Badan Intelijen, data statistik, dan berbagai infrastruktur lainnya.

Dibalik pro-kontra siapa sebenarnya penyebar hoax, Saya berpendapat bahwa semua pihak harus dapat menahan diri dari menyebar dan mempercayai sebuah berita hoax. Kondisi Negara yang sudah panas, terus “dikipas-kipas” oleh para penyebar hoax. Pasca Pilpres 2014, hoax yang berusaha menjatuhkan presiden Joko Widodo terus bermunculan. Ada pihak yang tidak senang ketika Jokowi dan Prabowo akur. Media pun kadang suka memelintir pernyataan dari pejabat, mantan pejabat, atau elit politik yang membuat suasanna makin panas. Dan memang realitanya juga suka ada pejabat yang “keseleo” lidah sehingga hal dimanfaatkan untuk menyerang ybs.

Hoax telah menyebabkan bangsa ini mudah diadu domba. Kini muncul saling curiga, prasangka buruk, saling gugat, dan saling lapor kepada aparat hukum. Budaya musyawarah, kompromi, dan budaya klarifikasi semakin tergerus oleh sikap egois. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan sangat berbahaya terhadap keutuhan NKRI.

Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan  dianggap sebagai sebuah kebenaran. Begitupun dengan hoax. Jika terus diulang dan dibagian secara masif, maka akan dinilai sebagai sebuah kebenaran. Oleh karena itu, masyarakat harus didik agar tidak mudah percaya terhadap sebuah berita. Perlu cek dan ricek terhadap kebenarannya.

Langkah bijak yang bisa dilakukan ketika menerima sebuah berita adalah jika cek dan ricek apakah berita tersebut benar atau salah. Jika benar, telaah apakah manfaat atau tidak jika disebarkan. Jika bermanfaat, maka sebarkan, dan jika kurang bermanfaat, bahkan madharat, maka tidak perlu disebarkan. Cukup diri sendiri saja yang tahu.

Menurut Saya, gerakan anti hoax bisa dimulai dari anak-anak, misalnya dengan cara membiasakannya untuk tidak menceritakan sesuatu yang tidak berguna dan berbohong, atau menceritakan sebuah peristiwa secara berlebihan. Selain itu, juga perlu membiasakan untuk tidak langsung percaya terhadap sebuah berita, tentunya dengan menggunakan kalimat yang mudah dipahami oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun