Suara bising keluar dari konvoi sepeda motor sebuah partai politik yang sedang berkampanye. Para pengendara motor seolah memang sengaja meraung-raungkan suara sepeda motornya. Banyak diantara mereka yang tidak menggunakan helm. Hal itu tentunya melanggar peraturan lalu lintas tetapi polisi yang mengawalnya pun seolah tidak peduli.
Sambil berdiri dan menari-nari, penumpang yang membawa bendera partai mengibar-ngibarkannya, tidak peduli bahwa hal itu bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Seolah jalanan milik mereka sendiri, tidak peduli hak pengguna jalan lain. Belum lagi suara keras yang keluar dari sound system memekakan telinga yang mendengarnya.
Kampanye memacetkan jalan? Itu hampir pasti selalu terjadi. Kemacetan yang sudah parah bertambah parah karena banyaknya kerumunan massa yang berkampanye. Para pengguna jalan harus ekstra hati-hati jika berpapasan dengan massa yang berkampanye dan harus mengalah membiarkan mereka untuk lewat lebih dulu.
Masa kampanye adalah salah satu tahapan pemilu. Melalui kampanye, parpol peserta pemilu diharapkan menyampaikan visi dan misinya kepada masyarakat sehingga mampu menarik simpati calon pemilih untuk memilihnya. Jauh-jauh hari sebelum masa kampanye, para caleg sudah mensosialisasikan dirinya melalui baligo, spanduk, poster, sticker, dan media lainnya kepada masyarakat. Pohon, jalan, jembatan, tiang listik, tembok bangunan menjadi tempat bagi mereka untuk memperkenalkan diri. Dan pada masa kampanye, jalan yang sudah semrawut, semakin semrawutalias tidak enak dipandang karena banyak alat peraga kampanye (APK) yang dipasang sembarangan dan tanpa izin.
Berkaitan dengan pemasangan APK, ada hal yang cukup menarik. Para tim sukses caleg biasanya memasang APK pada malam hari. Entah apa alasan utamanya. Mungkin supaya lebih adem kalau malam hari, supaya tidak ketahuan oleh tim sukses caleg lain, supaya tidak dilihat oleh masyarakat umum, atau tidak ketahuan bahwa mereka-lah yang merusak dan memaku pohon-pohon di pinggir jalan. Mungkin mereka masih memiliki rasa malu bahwa sebenarnya memaku pohon itu merusak lingkungan tapi karena kepentingan kampanye, mereka pun mengabaikannya. Satu pohon bisa dipasangi foto beberapa caleg sehingga pohon-pohon tersebut banyak “penunggunya”.
Kegiatan kampanye yang seharusnya menaati aturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada kenyataannya banyak yang dilanggar. Bentuk pelanggaran yang dimaksud antara lain, memasang APK bukan pada tempat yang seharusnya seperti di sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, menyertakan anak-anak pada saat kampanye, politik uang (money politic), mobilisasi PNS, menggunakan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye, pejabat negara yang kampanye di luar waktu cuti kampanye, dan sebagainya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) seolah tidak berdaya menangani berbagai pelanggaran kampanye tersebut.
Selain banyak melanggar peraturan KPU, peserta kampanye juga banyak melanggar etika. Antara lain, merusak pohon, memasang alat peraga kampanye di sembarang tempat, meninggalkan sampah setelah kampanye, membuat kegaduhan, mengganggu kenyamanan pengguna jalan, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa berharap partai-partai ini bisa menepati janjinya sementara mereka sendiri banyak melanggar aturan dan etika.
Persaingan yang sengit antarparpol dan antarcapres menyebabkan kegiatan kampanye yang seharusnya diisi dengan pemaparan visi dan misi, berubah menjadi ajang propaganda keberhasilan partainya dan ajang untuk membunuh karakter, saling menjatuhkan, saling sindir antarlawan politik, dan saling menyalahkan sehingga masyarakat yang tadinya mengharapkan sebuah kampanye yang cerdas dan berbobot pada kenyatannya tak ubahnya seperti mendengarkan program infotainment yang dihiasi gosip murahan.
Untuk menarik massa dan menambah meriah, parpol peserta kampanye menghadirkan juru kampanye (jurkam) handal seperti ketua parpol, capres, atau artis-artis yang kebetulan menjadi caleg parpol tersebut. Selain itu, kegiatan kampanye diisi dengan acara hiburan yang didominasi musik dangdut yang memamerkan erotisme dan fornoaksi dimana hal tersebut juga ditonton oleh anak-anak. Massa yang menghadiri kampanye banyak yang tidak peduli atau tidak paham terhadap visi, misi, dan janji-janji kampanye yang disampaikan oleh jurkam tetapi hanya ikut-ikutan dan lebih tertarik dengan hiburan gratis yang disajikan.
Model kampanye yang dilakukan parpol dari pemilu ke pemilu memang tidak banyak berubah. Sebuah kampanye dikatakan berhasil jika banyak massa yang datang ke lokasi kampanye sehingga mereka melakukan berbagai upaya untuk mengerahkan massa. Kita mengharapkan kampanye yang kreatif, menarik, simpatik, dan santun. Model kampanye seperti itu selain mampu meyakinkan massa yang sudah jadi konstituennya, juga mampu menarik simpati pemilih-pemilih rasional dan pemilih mengambang (swing voter) sehingga mereka mantap menyalurkan pilihannya pada hari-H pemilu.
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, Praktisi Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H