Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Jangan Jadi) Orang Tua yang Gagal

17 Mei 2016   12:59 Diperbarui: 17 Mei 2016   13:11 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : //dakwahmakassar.files.wordpress.com/

Oleh:

IDRIS APANDI

Pak Andi, tubuhnya yang semakin tua membuat kondisinya semakin lemah. Rambutnya yang dulu hitam, kini telah berganti menjadi putih. Kulitnya yang dulu kencang, kini sudah keriput. Suaranya yang dulu lantang, kini parau dan terengah-engah karena penyakit asma yang dideritanya. Kaki yang dulu kuat menopang tubuhnya ketika berjalan, kini harus dibantu dengan tongkat.

Ketika sehat, dia bebas makan apapun yang dia suka, tapi, sesuai dengan saran dokter, kini dia menghindari makanan-makan yang mengandung kolesterol dan dapat menaikkan tekanan darahnya. Sebulan sekali dia harus check up,bahkan sewaktu-waktu di harus rawat di rumah sakit karena perlu ditangani serius. Ketika muda, tubuhnya sehat dan bugar. Dia dengan bebas bisa pergi kemana pun yang dia mau, tidak terlalu ketergantungan kepada orang lain, tapi kini,  dia tergantung terhadap orang lain.

Dimasa mudanya, dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya. Dengan titel pendidikan tinggi yang dimilikinya, karirnya terus menanjak. Dari hasil perkawinannya, dia dikaruniai beberapa orang anak. Sebagai orang berpendidikan, dia sadar bahwa pendidikan bagi anak-anaknya adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu, dia menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah terbaik dan juga ke pesantren, agar anak-anaknya memiliki keseimbangan ilmu dunia dan ilmu agama.

Dia ingin agar anak-anaknya meneruskan perusahaan yang didirikannya. Sebagai orang tua, dia telah menyiapkan aset yang akan diwariskan dan dikelola oleh anak-anaknya. Singkat cerita, anak-anaknya lulus dari Perguruan Tinggi dan pesantren. Kini, ada diantara mereka yang telah berkeluarga, hidup terpisah dari orang tuanya. Sesuai dengan keinginannya, kini anak-anaknya dipercaya mengelola perusahaan yang dengan susah payah didirikannya. Dia berharap, di masa tuanya, dia bisa beristirahat, dan berbahagia melihat anak-anaknya sukses. Dan dia pun berharap, anak-anaknya dapat merawatnya di masa tuanya.

Ternyata apa yang dialaminya kini tidak sesuai harapan. Di masa tuanya kini, dia hidup “sebatang kara”, kurang diperhatikan oleh anak-anaknya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada kalanya, ketika dia butuh pertolongan, tidak ada anak yang bisa membantunya dengan alasan sibuk bekerja. Sang istri muda yang dulu terlihat mencintainya, kini semakin menjauh dan memilih hidup sendiri di kampungnya halamannya. Hartanya pun satu persatu dikuasai oleh sang istri muda. Kondisinya saat ini sangat membutuhkan perawatan dan pendampingan dari keluarganya, tapi tidak didapatkannya. Ketika membutuhkan sesuatu, dia hanya bisa meminta tolong kepada tetangga yang kebetulan bersedia membantunya.

Anak-anaknya saat ini jauh lebih sibuk membicarakan pembagian aset perusahaan yang didirikannya daripada memperhatikan kondisi orang tuanya. Suatu hal yang sebenarnya kurang etis dilakukan karena orang tuanya masih hidup. “Perebutan” aset milik orang tuanya, membuat hubungan anak-anaknya menjadi kurang akur.

Melihat kondisi demikian, dia pun bersedih. Di masa tuanya, dia bukan melihat anak-anaknya akur, tetapi berebut harta, disaat dia sendiri masih hidup. Dia merasa menjadi orang tua yang gagal. Padahal dia menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi dan belajar di pesantren supaya menjadi anak-anak yang soleh dan berbakti kepada orang tua.

Apa yang dilakukannya adalah tindakan yang sudah benar, membekali anak-anaknya dengan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi, tapi ada satu hal yang dilupakan, yaitu dia terlalu menyerahkan pendidikan kepada lembaga pendidikan formal, sementara perannya sebagai orang tua yang notabene sebagai pendidik pertama dan utama terlupakan. Dengan segala kemudahan dan limpahan harta yang dimilikinya, dia memanjakan anak-anaknya. Akibatnya, anak-anaknya menjadi cengeng, bukan tipe pekerja keras, mudah mengeluh, dan mudah menyerah. Jika ada kesulitan atau kebutuhan, tinggal minta kepada orang tuanya, bahkan ketika anak-anaknya telah menikah pun, ketika mengalami kesulitan, mereka “merengek” kepada orang tua. Akhirnya, orang tua pun harus ikut pusing mencari jalan keluar dari persoalan anak-anaknya, dan ada kalanya dia juga harus menjadi penengah dari konflik yang terjadi diantara anak-anaknya.

Kebahagiaan yang diharapkan didapatkan di masa tuanya, tidak dia dapatkan. Saat ini, yang didapatkannya justru kesedihan. Dia dijauhi istri mudanya. Dia menikah lagi, setelah bercerai dengan istri tuanya beberapa tahun lalu. Istri mudanya  ternyata lebih tertarik kepada hartanya daripada mencintainya dengan tulus. Anak-anaknya pun demikian, datang padanya hanya ada saat-saat tertentu saja, dan itu pun bisa dihitung dengan jari, dan hanya sebentar saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun