Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Raya dan “Etalase” Politik

2 Februari 2014   11:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391316163883330094

[caption id="attachment_319826" align="aligncenter" width="540" caption="SEORANG PENGGUNA JALAN SEDANG MELEWATI DERETAN BALIGO CALEG YANG BERSAING PADA PEMILU 2014"][/caption] Pada masa kampanye Pemilu Legislatif 2014, para calon anggota legislatif (caleg) semakin gencar melakukan kampanye melalui berbagai cara dan berbagai media. Mereka membuat beragam alat peraga kampanye seperti baligo, spanduk, stiker, famflet, T-Shirt, mug, korek api, pasang iklan di koran, TV, media online dan sebagainya. Melalui alat peraga kampanye tersebut diharapkan masyarakat semakin mengenalnya dan mau memilihnya.

Melalui beragam alat peraga tersebut, para caleg menampilkan beragam foto yang mencitrakan dirinya. Ada yang memakai pakaian yang mengesankan dirinya religius, memakai baju koko, kopiah, dan sorban. Berpakaian jas rapi, bergaya mirip tokoh seperti Soekarno atau Jokowi, atau pakaian memakai pakaian adat atau batik. Di negara demokrasi seperti Indonesia, setiap orang bisa jadi caleg, asal memenuhi syarat dan dicalonkan partai politik. Kuota caleg perempuan sebesar 30% menyulitkan partai politik untuk memenuhinya, sehingga akhirnya mereka memasukkan caleg perempuan dengan tidak terlalu memperhatikan kualitas dan kompetensinya. Yang penting kuota terpenuhi.

Selain berpenampilan sesimpatik mungkin, mereka juga menebar propaganda atau janji-janji, slogan-slogan seperti pro petani, pro lingkungan hidup, pro pendidikan, pro pedagang pasar tradisional, dan sebagainya sambil menampilkan kegiatan-kegiatan sosial yang telah dilakukannya. Untuk menambah kepercayaan diri, mereka juga ada yang menampilkan dirinya bersama suami-istri atau keluarga yang telah dikenal luas masyarakat, menambah keterangan sebagai suami-istri, anak, kerabat dari tokoh tertentu, mantan atlet, atau artis film tertentu. Hal itu sah-sah saja sebagai upaya memikat calon pemilih. Dan keputusan akhir ada di tangan pemilih apakah tertarik atau tidak dengan propaganda-propaganda tersebut.

Para caleg memasang alat peraga kampanye di berbagai tempat dan kadang suka kurang memperhatikan etika dan estetika. Sebelum masa kampanye, KPU melarang caleg untuk memasang alat peraga kampanye, tetapi hal itu banyak diabaikan oleh para caleg dengan dalih bukan kampanye tetapi sosialisasi. Bawaslu juga tampak kurang bergigi dan serius menangani pelanggaran yang dilakukan para caleg.

Salah satu tempat yang menjadi pavorit para caleg memasang alat peraga kampanye adalah jalan raya. Sepanjang jalan raya dengan mudah kita melihat deretan baligo para caleg. Jalan raya tak ubahnya seperti “etalase” dimana masyarakat disajikan berbagai pilihan. Semuanya mengklaim sebagai sosok yang paling layak dipilih. Jalan raya menjadi sarana pencitraan. Disamping menyebar pesona melalui alat peraga yang pasangnya, para caleg juga terus “bergerilya”, masuk ke kampung-kampung untuk mendapatkan dukungan. Mereka juga mendekati tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, atau memunculkan ikatan primordial dengan organisasi tertentu.

Jalan raya yang sudah semrawut, menjadi semakin semrawut oleh baligo-baligo yang dipasang sembarangan. Bukan hanya baligo politik, tapi baligo-baligo komersil dan sosial yang kadang dipasang tidak berizin. Baligo-baligo tersebut akan semakin banyak bermunculan di jalan raya karena setelah pemilu legislatif, dilanjut dengan Pilpres. Ironisnya, pada masa tenang dan pasca pemilu, baligo-baligo itu tidak dicabut kembali, dibiarkan begitu saja sampai rusak terkena panas, hujan, dan angin. Padahal dalam kampanyenya, banyak politisi yang menyebut dirinya sebagai pro lingkungan, tapi kenyataannya justru menambah kotor dan kumuh lingkungan. Pohon-pohon, tembok-tembok bangunan, banyak menjadi korban baligo yang dipasang sembarangan.

Di beberapa daerah, Satpol PP sudah melakukan pembersihan baligo-baligo liar di jalan, tetapi beberapa saat kemudian muncul lagi. Tidak pernah ada efek jera karena sanksinya tidak tegas. Seolah-olah Satpol PP yang paling bertanggung jawab menertibkan baligo-baligo liar tersebut karena melanggar Perda, padahal secara etika, yang memasang yang bertanggung jawab mencabutnya.

Banyaknya baligo-baligo di jalan raya juga menarik perhatian (baca=mengganggu) perhatian pengguna jalan, sehingga kadang membuat penyebab kecelakaan karena tidak fokus melihat jalan. Ditambah kondisi jalan yang rusak menambah resiko kecelakaan. Supaya menarik perhatian calon pemilih, para caleg itu bukan hanya tebar pesona, tetapi juga menyampaikan visi, misi, dan aksi nyata, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempelajari track record­-nya. Walau saat ini para caleg dihadapkan pada tantangan politik uang, apatisme, dan pragmatisme di tengah-tengah masyarakat.

Para caleg biasanya sudah memiliki tim yang bertugas memasang baligo-baligo dan menyebarkannya ke berbagai wilayah. Semua pihak termasuk para politisi tentu sepakat menginginkan lingkungan yang bersih dan tertata rapi, oleh karena itu, para caleg perlu memasang alat peraga kampanye di tempat yang ditentukan, sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, tidak merusak lingkungan, menjaga etika dan estetika supaya masyarakat pun menaruh simpati.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Kabupaten Bandung Barat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun