Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ironi Idul Fitri, dari Konsumerisme Hingga Urusan Sampah

7 Juli 2016   07:54 Diperbarui: 7 Juli 2016   11:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah bekas shalat Id. (Foto : iqmaltahir.files.wordpress.com)

Oleh:

IDRIS APANDI

Sejatinya idul fitri adalah hari kembalinya umat Islam kepada kesucian (fitrah) setelah manusia setelah sebulan berpuasa. Ajaran Islam menekankan umatnya untuk mencintai kebersihan dan kesucian. Allah itu bersih dan mencintai kebersihan, dan kebersihan adalah sebagian daripada iman. Makna bersih ini dapat dimaknai sebagai bersih hati, bersih pikiran, bersih badan, dan bersih lingkungan.

Setiap umat Islam tentunya ingin merayakan idul fitri. Sukur-sukur kalau bisa mudik ke kampung halaman, tapi kalau tidak bisa mudik pun, masih bisa merayakannya di perantauan. Walau demikian, merayakan idul fitri di perantauan suasananya akan berbeda dengan merayakannya di kampung halaman sendiri. Oleh karena itu, para perantau, dengan segala perjuangan dan tantangan yang dihadapinya, mereka mudik ke kampung halaman.

Arus mudik bisa dikatakan sebagai mobilisasi manusia paling besar di Indonesia. Kota Jakarta yang biasanya macet, mendadak lengang karena ditinggal mudik oleh penghuninya. Oleh karena ada sebuah candaan, siapapun gubernurnya, tidak akan ada yang bisa membuat lalu lintas Jakarta lancar, kecuali lebaran.

Dibalik segala hiruk pikuknya, Saya melihat ada beberapa ironi yang menyertai pelaksanaan idul fitri. Antara lain, pertama, konsumerisme.Tidak dapat dipungkiri menjelang lebaran, tingkat belanja umat Islam meningkat sangat pesat, mulai dari membeli baju baru,  kue-kue, hingga perhiasan, dan asesoris. Semuanya untuk  lebaran, supaya pada saat lebaran tampil prima. Uang THR pun kadang habis digunakan untuk belanja kebutuhan lebaran.

Sebenarnya tidak dilarang untuk membeli pakaian baru pada saat lebaran, yang dilarang adalah berlebih-lebihannya. Mungkin ada orang yang beli pakaiannya hanya satu kali dalam satu tahun. Kadang kita membeli sesuatu bukan atas kebutuhan, tapi atas dasar keinginan alias “lapar mata”, dan yang namanya keinginan, sepanjang manusia hidup dan memiliki hawa nafsu, tidak akan pernah merasa puas. Akibatnya, banyak barang yang setelah dibeli kurang bermanfaat, dan makanan yang dibeli kadang hanya pajangan, bahkan ada yang sampai basi.

Beberapa hari menjelang lebaran, pasar dan mal semakin penuh sesak oleh pembeli. Walau mengeluh terhadap kenaikan harga menjeleng lebaran, warga tidak memiliki pilihan, mereka tetap membelinya, dan alhamdulillah, mereka masih diberikan rezeki oleh Allah SWT, Sang Maha Pemberi Rezeki.

Kedua, sulitnya budaya antri. Kemacetan parah yang terjadi pada saat arus mudik, disamping disebabkan oleh volume kendaraan yang tidak sesuai dengan panjang ruas jalan, juga diakibatkan warga masyarakat yang tidak mau tertib berlalu lintas. Saling serobot, ingin lebih dulu, tidak ada yang mau mengalah. Akibatnya lalu lintas menjadi semrawut, sulit diurai karena saling terkunci dari berbagai arah. Manusia yang tidak mau tertib adalah gambaran dari mentalnya yang menuruti hawa nafsu dan belum dapat mengendalikan egonya. Intinya, puasa yang dilakukannya belum berdampak terhadap perbaikan atau peningkatan kualitas pribadinya.

Pada waktu shalat Id dikampung halaman, Saya punya pengalaman pada saat bersalam-salaman (musafahah). Acara yang harusnya tertib dan teratur menjadi semrawut karena barisan (shaf) di belakang merangseg ke depan karena tidak sabar ingin segera pulang, padahal panitia sudah mengingatkan supaya tertib dan teratur.

Ketiga, sampah yang berserakan. Ada pemandangan lain ketika terjadi macet parah di tol Brebes Timur, yaitu sampah yang berserakan, padahal setiap kendaraan diwajibkan membawa tempat sampah sendiri. Akibatnya jalan tol menjadi kotor dan kumuh. Sampah dibuang sembarangan, padahal Islam mengajarkan mencintai kebersihan, dan menjaga kebersihan adalah sebagian dari iman. Sebuah hal yang kontradiktif antara harapan dan kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun