Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hakikat Pendidikan yang Terdistorsi

26 September 2016   22:07 Diperbarui: 26 September 2016   22:16 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. (Foto : http://www.berdikarionline.com/

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Sedangkan Driyarkara menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa proses pendidikan dilaksanakan pada tiga lembaga pendidikan atau dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu; (1) keluarga, (2) sekolah, dan (3) masyarakat. Berdasarkan kepada hal tersebut, maka proses pendidikan harus dilakukan secara sinergi antara ketiga lembaga pendidikan tersebut.

Hal yang terjadi saat ini adalah terjadinya distorsi makna atau hakikat pendidikan. Pendidikan diartikan sebagai persekolahan, lalu pengertian persekolahan dipersempit menjadi kelas, dan pengertian kelas dipersempit menjadi ruang berukuran sekian meter kali sekalian meter, padahal kegiatan belajar bukan hanya dilaksanakan di ruang kelas, tetapi juga dapat dilakukan di luar kelas seperti laboratorium, perpustakaan, musium, lapangan, atau tempat lainnya.

Kehidupan ini pada hakikatnya adalah sebuah “sekolah” bagi setiap manusia.” Akibat semakin terdistorsinya hakikat dari pendidikan, seorang anak yang berprestasi hanya dinilai dari angka-angka yang tertera pada buku raport atau transkrip nilai. Proses pendidikan memang saat ini terjebak pada proses formalistik. Orang bersekolah sampai jenjang yang paling tinggi sekalipun hanya mengejar selembar ijazah yang akan digunakan untuk melamar pekerjaan atau mengembangkan karir.

Menurut Saya, distorsi hakikat pendidikan telah terjadi dalam memaknai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Kata “belajar” dan “proses pembelajaran” pada pasal diatas banyak diartikan sebagai belajar di bangku sekolah atau kuliah, padahal konteksnya bisa lebih luas, bukan belajar di sekolah, tapi juga di luar sekolah, dengan melibatkan orang tua dan masyarakat. Dalam UU Sisdiknas, disamping mengatur pendidikan formal (persekolahan dan perguruan tinggi) juga mengatur pendidikan non formal (Program Paket, BLK, pesantren, kursus), dan pendidikan informal (keluarga).

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka pendidikan harus dimaknai secara holistik (utuh) atau empiris (menyeluruh). Yang terjadi saat ini adalah ketidaksinkronan antara institusi pendidikan alias saling mengandalkan. Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga menyerahkan urusan pendidikan kepada sekolah. Mereka memilih sekolah yang menurut mereka terbaik untuk anaknya. Kalau perlu full day school supaya anak-anaknya dapat tekun belajar dan diawasi oleh guru-gurunya, walau konsekuensinya harus membayar biaya mahal.

Akibat dari terjadinya distorsi tersebut, sekolah, dalam hal ini guru yang menjadi pihak yang paling memiliki beban untuk mendidik setiap anak. Di tengah kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi yang menimpa guru belakangan ini, guru gamang dalam melaksanakan tugasnya, takut melanggar hak anak, dan takut diadukan oleh orang tua, terlebih jika hal tersebut menimpa anak yang “cengeng” dan orang tua yang “arogan”, maka urusannya menjadi repot. Guru bak pesakitan, dipukul, diseret, dan diadukan ke polisi, padahal guru memberikan hukuman disiplin dalam rangka mendidik.

Dalam melaksanakan pendidikan, orang tua dan masyarakat bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga sama-sama menjadi pelaku, bersinergi dengan sekolah. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya harus mampu menjadi figur teladan dan terus belajar menjadi pendidik yang baik. Sedangkan masyarakat disamping ikut berpartisipasi menyelenggarakan lembaga pendidikan, juga ikut mendukung pendidikan yang dilakukan di keluarga dan masyarakat.

 “Toleransi” yang salah kaprah di tengah-tengah masyarakat saat ini menjadikan hakikat pendidikan terdistorsi. Terjadi pembiaran terhadap perilaku menyimpang. Bahkan kadang ikut-ikutan walau tahu hal tersebut salah. Misalnya kebiasaan melanggar rambu-rambu lalu lintas, aksi kebut-kebutan, membuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum, dan penggunaan media sosial untuk hak yang negatif. Mari kembalikan hakikat pendidikan dengan memahami dan melaksanakan peran masing-masing insitusi pendidikan secara sinergi dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun