Tanggal 19 September 2015, Tim dari Kemenristek Dikti menggerebek acara wisuda ilegal yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan di Gedung Universitas Terbuka Tangerang Banten. Tercatat sebanyak 1200 orang yang berasal dari beberapa kampus mengikuti acara tersebut. Disinyalir terjadi jual beli ijazah melalui acara tersebut. Kasus ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan sudah banyak memakan korban.
Menurut Penulis, masih suburnya kasus jual beli ijazah disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, karena pendidikan sudah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Pendidikan sudah keluar dari hakikatnya yaitu untuk “memanusiakan manusia”, untuk memberikan peserta didik dan mahasiswa dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang akan menjadi bekal dalam kehidupannya.
Kasus jual beli ijazah telah merusak tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Proses penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya berorientasi kepada kualitas atau proses, telah bergeser menjadi hanya berorientasi kepada hasil.
Dengan membayar sejumlah uang, maka ijazah S-1, S-2, atau S-3 dengan mudah didapatkan tanpa harus mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya atau dengan kedok kelas jauh, padahal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah melarang setiap Perguruan Tinggi (PT) menyelenggarakan kelas jauh demi menjaga kualitas layanan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.
Ibarat hukum pasar, yaitu hukum permintaan dan penawaran, bisnis jual beli ijazah palsu akan terjadi sepanjang penjual atau penyelenggara lembaga pendidikan abal-abal masih ada, dan masih ada warga masyarakat yang berminat membelinya. Telah terjadi simbiosis mutualisme antara penjual dan pembeli ijazah palsu.
Kedua, mental instan masyarakat. Ijazah yang didapatkan biasanya digunakan untuk kenaikan pangkat, jabatan, golongan, untuk mendaftar menjadi Caleg atau Kepala Daerah, atau untuk menaikkan status sosial di masyarakat. Gelar yang tertera di depan atau belakang nama akan menambah kepercayaan diri penggunanya.
Tahun 1979 Budayawan Mohctar Lubis mengatakan bahwa salah satu karakter bangsa Indonesia adalah mental menerabas, senang mengambil jalan pintas, dan tidak mau bekerja keras untuk mencapai tujuan. Yang penting dapat gelar sarjana, tidak peduli terhadap prosesnya yang instan. Akibatnya, banyak sarjana yang kurang kompeten, dan kurang menunjukkan kinerja yang diharapkan sesuai dengan gelar yang disandangnya. Budaya instan dan mental “gila gelar” membuat masyarakat berlomba-lomba meraih gelar sehingga tidak jarang, seseorang memiliki beberapa gelar baik yang berasal dari PT dalam negeri maupun luar negeri.
Syarat memiliki ijazah ketika seseorang melamar pekerjaan pun menjadi faktor pemicu menjamurnya jual beli gelar. Idealnya, memang ijazah tersebut menjadi jaminan kompetensi, tetapi pada kenyataannya tidak selalu berbanding lurus antara nilai-nilai yang tertera pada ijazah dengan kompetensi yang dimiliki karena prosesnya yang instan tersebut. Dan di tempat kerja pun, ketika seserang bekerja, tidak terlalu dipersoalkan dia lulusan dari mana, dan IPK-nya berapa, tetapi yang penting apa kompetensi yang dimilikinya, serta mampu menunjukkan kinerja yang baik.
Ketiga, masih rendahnya pengawasan dari pemerintah. Terjadinya kasus jual beli ijazah palsu menunjukkan bahwa pengawasan dari pemerintah masih rendah. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Kemristek Dikti dengan merazia kampus-kampus abal-abal, dan membubarkan prosesi wisuda ilegal beberapa waktu lalu di Tangerang merupakan hal yang perlu didukung untuk menjaga mutu pendidikan. Kampus-kampus abal-abal tersebut banyak berkantor di ruko-ruko, dan tidak memiliki fasilitas yang memadai.
Pemerintah harus bertindak tegas dengan menutup kampus-kampus yang menyelenggarakan pendidikan abal-abal atau menjual ijazah palsu. Para pelakunya pun harus diberi sanksi tegas untuk membuat efek jera. Ijazah yang terlanjur beredar harus ditarik dan dinyatakan tidak sah.