Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Kasus bully (perundungan) di lingkungan pendidikan masih saja terjadi. Seorang calon mahasiswa baru yang berkebutuhan khusus di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta dibully (walau hanya sekedar bercanda), sembilan orang siswa SMP membully temannya di Thamrin City Jakarta. Akibatnya mereka dikembalikan kepada orang tua (bahasa halus dikeluarkan dari sekolah) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP)-nya dicabut.
Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlindungan anak sebenarnya telah sering melakukan kampanye anti bully di sekolah, tetapi hal ini masih saja terjadi. Masih perlu proses panjang mendidik dan menyadarkan pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat terhadap bahaya bully.
Di tengah-tengah masyarakat, bully kadang dianggap sebagai candaan biasa. Acara lawakan kalau tanpa membully temannya seperti sayur tanpa garam. Objek bully biasanya adalah kekurangan fisik, memberi label-label negatif terhadap korban, atau mengucapkan kata-kata yang tidak pantas.
Dampak tayangan media pun sangat berpengaruh. Di media sosial dan media online dengan mudah ditemui kalimat-kalimat atau tayangan yang isinya tentang kekerasan. Tayangan kekerasan di sinetron utamanya yang bertema remaja pun seolah memberi contoh perilaku kekerasan.
Tindakan keekerasan sebenarnya bukan hanya dilakukan di kalangan anak-anak dan remaja saja, tetapi juga terjadi di kalangan orang dewasa. Orang dewasa saat ini begitu banyak yang mudah marah, mudah terpancing emosi, mudah berbuat anarkis ketika ada hal yang menyinggung perasaannya.
Kasus bully di sekolah atau kampus biasanya terjadi secara turun temurun. Para siswa atau mahasiswa baru bukan dianggap sebagai keluarga baru yang harus disambut dengan riang gembira, tetapi dianggap sebagai sosok yang lemah dan menjadi sasaran empuk untuk dibully.Segelintir kalangan senior seolah ingin memperlihatkan eksistensi dan pengaruhnya agar disegani atau ditakuti oleh junior. Aksi bully juga dijadikan semacam aksi "balas dendam" senior, karena mereka pun, ketika pertama kali masuk ke sekolah atau kampus dibullyoleh para seniornya.
Dalam wawancara di sebuah stasiun TV, seorang psikolog mengatakan bahwa kasus bully di sekolah selain sebabkan oleh faktor "warisan", juga karena rendahnya empati terhadap orang lain. Empati adalah mampu menempatkan perasaan kita terhadap perasaan atau kondisi orang lain. Orang yang baik lemah secara fisik maupun ekonomi seolah layak untuk direndahkan, seolah tidak memiliki harga diri, harus tunduk kepada hegemoni orang atau kelompok yang berkuasa.
Dalam lingkungan yang minus empati, orang yang terkena musibah atau memiliki kekurangan bukannya ditolong atau dibesarkan mentalnya, tetapi diolok-olok, hanya sekedar dilihat, dan diabaikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Semakin tergerusnya sifat empati, selain dampak dari tayangan media, juga dampak globalisasi yang mendorong manusia semakin individualistis.