ADAS MULYANA, GURU SUKWAN ABADI DARI CIANJUR
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Nama Adas Mulyana mungkin tidak banyak dikenal. Maklum Beliau bukanlah tokoh, artis, olahragawan, atau figur terkenal lainnya. Adas hanya seorang guru sukwan SD di Cikadu, sebuah kecamatan di wilayah Cianjur Selatan Jawa Barat. Saya sendiri mendengar nama Adas ketika bertugas menjadi Pendamping Bimbingan Teknis (Bimtek) Kurikulum 2013 di daerah tersebut dari seorang pengawas bernama Asep Sutisna yang kebetulan menjadi salah satu instruktur pada kegiatan tersebut. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan Pak Adas, dan hanya mengandalkan informasi untuk menulis tulisan ini dari Pak Asep yang merupakan pengawas pembina di SD tempat Pak Adas mengajar.
Pak Asep menggambarkan sosok pria kelahiran 03 Juli 1951 tersebut sebagai guru yang mencintai dunia pendidikan. Dia tidak akan berhenti mengajar sepanjang masih mampu mengajar atau tidak diberhentikan Kepala Sekolah. Adas lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) C tahun 1968 dan pertama kali menjadi guru sukarelawan (Sukwan) tahun 1970 dan hingga saat ini (2017) masih aktif mengajar. Berarti dia telah mengabdi selama 47 tahun menjadi guru. Sebuah pengabdian yang sangat luar biasa, sulit untuk disamai oleh siapapun. Ketika usia 60 tahun seorang guru PNS pensiun, Pak Adas yang seorang guru honorer masih terus mengajar walau sudah berusia 66 tahun.
Mengapa dia tetap mengajar walau usianya tidak muda lagi? Jawabannya adalah cinta. Cinta terhadap dunia pendidikan membuatnya tetap mengajar walau di usia yang sudah tidak muda lagi. Pada umumnya, aktivitas orang seumuran Pak Adas adalah menikmati masa pensiun, diam di rumah sambil mengasuh cucu. Tapi tidak demikian, bagi Pak Adas. Usia tidak menghalanginya untuk tetap mengajar. Pada Foto yang dikirimkan kepada Saya, Pak Adas tampak masih sehat dan wajahnya tetap ceria.
Pak Adas memang kurang beruntung tidak diangkat menjadi PNS karena tidak berijazah sarjana dan karena factor usia yang tidak memenuhi persyaratan. Kini Pak Adas “menikmati” posisinya sebagai guru honorer dengan honor yang diterima jauh dari layak. Sejak menjadi guru Sukwan atau honorer tahun 1970, Pak Adas telah beberapa kali pindah mengajar karena pindah-pindah rumah. Dan sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang mengajar di SDN Cilaku Kec. Cikadu Kab. Cianjur.
Pak Asep mengatakan bahwa dia terenyuh mendengarkan kisah Pak Adas selama mengabdi menjadi guru sukwan. Pak Adas adalah representasi dari potret buram kehidupan guru sukwan, utamanya di daerah-daerah terpencil. Di SD-SD wilayah Kecamatan Cikadu, hampir 90% gurunya bertatus sukwan. Dengan kata lain, guru sukwan menjadi ujung tombak pendidikan SD-SD negeri di daerah tersebut.
Pemerintah boleh saja mengatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan guru dan melarang sekolah mengangat guru sukwa, tetapi realitanya sekolah-sekolah, khususnya SD yang terpaksa mengangkat guru sukwan karena kekurangan guru. Guru-guru yang awalnya ditempatkan di daerah terpencil hanya kuat beberapa tahun saja, dan setelah itu meminta pindah ke kampung halamannya. Oleh karena itu, dalam pengangkatan guru, pemerintah sebaiknya pemerintah memperhatikan domisili atau mengangkat guru sukwan yang telah cukup lama mengabdi dan memenuhi persyaratan dan tidak meminta pindah setelah diangkat.
Hal yang menjadi permasalahan juga adalah tidak meratanya persebaran guru. Pada umumnya guru ingin mengajar di wilayah tengah atau kota karena akses transportasi dan komunikasi yang lebih mudah di bandingkan dengan di daerah terpencil. Seorang guru di Kecamatan Cikadu menyampaikan bahwa beratnya medan menyebabkan beban transportasi juga membengkak.