Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menanti Ujian Nasional Versi Baru

2 Januari 2025   13:14 Diperbarui: 4 Januari 2025   14:49 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh IDRIS APANDI
Praktisi Pendidikan

Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyampaikan bahwa Ujian Nasional (UN) rencananya akan dilaksanakan kembali tahun 2026. Terkait dengan format dan teknisnya saat ini masih dikaji. UN dihapus sejak tahun 2021 dan digantikan dengan Asesmen Nasional (AN) yang meliputi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan dan surver lingkungan belajar.

Tujuan AN bukan untuk mengukur ketercapaian kompetensi lulusan, tetapi lebih kepada mendapatkan gambaran mutu literasi, numerasi, karakter, iklim keamanan sekolah, iklim kebinekaan, dan iklim pembelajaran.

Sasaran peserta AN adalah kelas 5 SD/MI, kelas 8 SMP/MTs, dan kelas XI SMA/MA/SMK. Sampel peserta AN diambil secara acak. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan diserahkan kepada satuan pendidikan. Hasil AN tergambar dalam rapor pendidikan daerah dan satuan Pendidikan dan jadi dasar dalam Perencanaan Berbasis Data (PBD) dan penyusunan RKAS.

AN bukan tanpa kritik. Kritik yang muncul terhadap AN diantaranya adalah peserta AN yang diambil melalui sampel dinilai tidak dapat menggambarkan keseluruhan mutu peserta didik atau mutu sekolah. Sampelnya pun tidak diambil secara proporsional berdasarkan populasi, tetapi sampel yang fix.

Misalnya, sekolah yang total muridnya 100 orang jumlah sampelnya (peserta AN) sama dengan sekolah yang jumlah muridnya 1000 orang. Kelas 5 SD/MI maksimal 30 responden, kelas 8 SMP/MTs maksimal 45 responden, dan SMA/MA/SMK maksimal 45 responden. Hal ini yang memunculkan keraguan dari sejumlah pihak termasuk satuan pendidikannya itu sendiri terkait validitas hasil AN. Apakah sampel sejumlah tersebut dapat menggambar mutu sekolah? Inilah yang memantik agar AN dievaluasi.

Banyak pihak juga menilai bahwa kelulusan yang sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan berdampak terhadap menurunnya motivasi belajar peserta didik. Mau serendah apapun nilai yang didapatkan, mau seperti apapun karakter dan tingkat kehadiran seorang peserta didik, ybs hampir dipastikan lulus. Dampaknya, perguruan tinggi dan dunia kerja ragu terhadap kompetensi seorang  lulusan walau nilai rapor dan nilai ijazahnya bagus.

Walau sebenarnya satuan pendidikan diberikan kewenangan untuk tidak menaikkan atau tidak meluluskan peserta didik setelah melalui pertimbangan yang sangat matang, tetapi pada kenyataannya, seolah ada aturan tidak tertulis bahwa peserta didik bagaimana pun kondisinya wajib naik kelas atau lulus.

Hal ini yang menyebabkan menurunnya mutu lulusan. Ada kasus peserta didik SMP bahkan SMA yang belum bisa atau lancar membaca atau berhitung walau tugas atau soal yang diberikan termasuk kategori mudah. Hal ini dinilai sebagai dampak sekolah yang menaikkan atau meluluskan peserta didik yang sebenarnya tidak layak.

Dihapuskannya UN tahun 2021 bukan tanpa alasan. UN dinilai banyak berdampak negatif, utamanya terkait dengan integritas pelaksanaannya. Pada masa awal UN menjadi syarat kelulusan, segala cara ditempuh agar peserta didik lulus. Sekolah membuat tim sukses, terjadi kecurangan, dan terjadi kebocoran soal atau kunci jawaban. Peserta didik stres, guru stres, kepala sekolah stres, dan orang tua pun stres. Kepala Dinas Pendidikan pun ikut stres karena diwanti-wakti oleh bupati atau walikota jangan sampai nilai UN dan tingkat kelulusan rendah. Pelibatan tim pemantau dan aparat kepolisian dalam pengawasan UN walau tujuannya untuk memastikan pelaksanaan UN  berjalan jujur, tetapi pada kenyataannya dirasakan menambah stres bagi panitia dan pengawas UN.

Dengan kata lain, UN menjadi horor tahunan di dunia pendidikan. Belajar selama 3 tahun ditentukan hanya dengan UN selama 3 hari, dan selama 2 jam pengerjaan soal. Ada sekolah yang didemo karena ada peserta UN yang tidak lulus, bahkan ada anak bunuh diri karena tidak lulus UN. UN yang hanya mengujikan empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris dinilai kurang fair. Seolah empat mata pelajaran itu saja yang penting, sedangkan mata pelajaran yang lainnya tidak penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun