Dengan adanya kondisi bahwa kasus peserta didik tidak bisa calistung sudah ada sejak sekian puluh tahun yang lalu, bukan hanya saat ini, menurut saya, kurang bijak kalau menjadikan kurikulum merdeka sebagai kambing hitam. Mungkin saja, zaman kurikulum terdahulu pun, kasusnya banyak, tapi tidak banyak terekspose karena belum ada media sosial, tapi saat ini, ada 1 kasus saja bisa viral di media sosial.
Kalau mau dilihat secara proporsional, zaman dahulu, pembelajaran belum ditunjang oleh teknologi dan guru-gurunya sangat jarang mengikuti pelatihan.
Sedangkan saat ini sekolah banyak didukung oleh perangkat teknologi dalam pembelajaran, guru-gurunya sudah sudah disertifikasi, banyak mendapatkan pelatihan, mudah mengakses sumber belajar melalui internet, bisa menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan bisa mengikuti pelatihan mandiri secara daring.
Hal ini yang dinilai menjadi sebuah hal yang ironis. Pembelajaran sudah berbantuan digital tapi mutunya masih rendah. Apa yang salah dengan pembelajaran yang telah dilakukan? Kemudian merembet kepada soal kompetensi dan profesionalisme guru.
Kasus ada peserta didik di sekolah umum tidak bisa calistung bisa saja bukan karena faktor guru yang belum melaksanakan pembelajaran yang efektif, tetapi bisa saja disebabkan memiliki keterbatasan atau lembat belajar (disleksia).
Oleh karena itu, harus diidentifikasi penyebabnya dan mendapatkan treatment yang sesuai dengan kebutuhannya dengan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti guru, orang tua, ahli pendidikan khusus, guru BK, dan psikolog.
Pandemi Covid-19 yang terjadi awal tahun 2020 sampai dengan 2022 yang berdampak terhadap menurunnya mutu pembelajaran (learning loss) karena pembelajaran banyak dilakukan secara daring. Pembelajaran yang dilakukan secara daring kurang efektif dibandingkan dengan pembelajaran luring karena guru dan peserta didik tidak dapat berinteraksi secara langsung.
Dampak dari tidak bertemu dan berinteraksi secara langsung, guru kesulitan mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik. Tantangan selama pembelajaran daring, guru kesulitan membimbing peserta didik dalam proses pembelajaran dan kesulitan memberikan treatment atau remedial jika ada peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
Terkait peserta didik yang nakal atau karakternya kurang baik, sejak zaman dahulu pun ada. Hanya, sekali lagi faktor media sosial, yang membuat variasi dan bobot kenakalannya semakin mengkhawatirkan. Di balik cukup banyaknya terjadi miskonsepsi pada Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang diimplementasikan sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, hal ini adalah sebuah ikhtiar untuk membangun karakter peserta didik. Tinggal pelaksanaannya yang harus diperbaiki.
Tantangan pendidikan karakter saat ini memang sangat kompleks. Ada pengaruh faktor keluarga, lingkungan bermain, dan media sosial. Semuanya mempengaruhi dan berdampak terhadap pola pikir, pola sikap, dan pola tindak peserta didik. Mudahnya akses informasi (khususnya yang negatif) melalui gawai juga berdampak terhadap peserta didik. Tindakan kekerasan dan perundungan (bullying) banyak terjadi. Bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga dilakukan secara verbal, tulisan, dan gestural. Bullying bukan hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi banyak terjadi di dunia maya (cyber bullying).
Berdasarkan hal tersebut, orang yang mau dan mampu berpikir dan bersikap secara bijak, tentunya dapat melihat masalah ini secara proporsional dan tidak tendensius. Setiap implementasi kurikulum ada plus dan minusnya. Tantangan yang dihadapinya pun beragam. Intinya, apa pun kurikulumnya, peran guru menjadi sangat penting dalam mengimplementasikannya sehingga kasus peserta didik yang tidak bisa calistung semakin berkurang.