Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Beberapa waktu ini muncul beberapa konten yang isi memperlihatkan rendahnya kemampuan peserta didik dalam literasi dan numerasi dasar seperti peserta didik tidak mampu menjawab pertanyaan singkatan, nama-nama ibu kota negara atau provinsi, nama-nama pahlawan nasional, sila-sila Pancasila, atau soal hitungan sederhana.
Selain itu, juga ada konten video yang memperlihatkan semakin menurunnya karakter peserta didik. Seperti belajar malas-malasan, belajar seenaknya di kelas, melawan saat diingatkan oleh guru, atau melanggar tata tertib sekolah tanpa ada rasa bersalah.
Pro dan kontra muncul atas munculnya konten video tersebut. Narasi yang dimunculkan pada konten video yang beredar adalah adalah potret kegagalan kurikulum merdeka yang diberlakukan secara nasional mulai tahun ajaran 2024/2025 melalui terbitnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Sejak diluncurkan tahun 2022, kurikulum merdeka diberlakukan pada sekolah yang sudah siap saja. Jika belum siap, sekolah masih boleh menggunakan kurikulum 2013.
Konten-konten tersebut bisa saja sebuah kasus. Tidak bisa digeneralisasi. Jika mengacu kepada data, hasil Asesmen Nasional tahun 2021 menyatakan bahwa 1 dari 2 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi dan 2 dari 3 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Dari 30 persen murid yang mencapai tingkat kompentensi minimum dalam numerasi pada tahun 2021, meningkat menjadi sekitar 40 persen di tahun 2022, dan pada Asesmen Nasional 2023 meningkat lagi menjadi 60 persen. Artinya, 3 dari 5 murid telah mencapai tingkat kompetensi minimum dalam numerasi.
Dengan demikian, kompetensi numerasi siswa di Indonesia secara umum masuk kategori sedang, yaitu 40-70 persen peserta didik telah mencapai kompetensi minimum untuk numerasi, tetapi perlu upaya mendorong lebih banyak peserta didik dalam mencapai kompetensi minimum. (Kompas, 1 Nov. 2024).
Jika kita mau menilai secara objektif, peserta didik tidak bisa membaca, tidak bisa berhitung, dan melakukan kenakalan ada dalam setiap episode kurikulum. Bukan hanya saat ini saja. Zaman kurikulum sebelumnya pun ada pelajaran CALISTUNG (membaca, menulis, dan berhitung). Ada peserta didik yang kesulitan calistung dan tidak naik kelas. Bedanya, kalau zaman dulu tidak jadi konten dan viral.
Sedangkan, zaman sekarang bisa jadi konten dan diviralkan. Belum lagi dari sisi mentalitas peserta didik dan cara orang menyikapi saat anaknya belum mampu calistung. Zaman dulu, peserta didik yang tidak bisa calistung dianggap hal yang biasa saja. Bahkan tidak naik kelas pun adalah hal yang biasa saja. Bukan aib dan bukan hal yang memalukan.
Peserta didik yang tidak naik kelas dan orang tuanya tidak kenal mental. Anaknya lanjut saja sekolah di sekolah yang sama. Sekarang, kondisinya sangat berbeda. Pihak sekolah lebih memilih menaikkan kelas seorang peserta didik walau sebenarnya kalau melihat kepada kemampuannya, sang peserta didik tidak layak naik kelas. Plus, pihak sekolah tidak mau ada masalah dan protes dari orang tua peserta didik.