Oleh: IDRIS APANDIÂ (Praktisi Pendidikan)
Kekerasan dan perundungan di satuan pendidikan dan kampus menjadi salah satu masalah yang harus ditangani secara serius oleh para pemangku kepentingan, khususnya di bidang pendidikan. Sudah cukup banyak korban luka, trauma, bahkan meninggal akibat dari kekerasan di lingkungan pendidikan dan kampus. Kasus terbaru, seorang taruna di sebuah sekolah kedinasan meninggal karena disiksa oleh seniornya. Motifnya senioritas dan arogansi. (Kompas, 04/05/2024).
Penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa tidak bisa hanya dilihat dari yang muncul permukaannya saja, tetapi harus dilihat juga dari akarnya. Jika ada kekerasan, kadang solusi yang dilakukan adalah solusi jangka pendek, incidental, dan sporadis. Misalnya saat ada kasus kekerasan, lalu tangani, proses, selesai. Belum dibuat solusi yang lebih bersifat antisipatif untuk kepentingan jangka panjang.
Oleh karena itu, suatu saat, kasus kekerasan bisa terjadi lagi dan terjadi lagi karena memang fondasi sikap antikekerasan belum benar-benar ditumbuhkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tradisi dan budaya "warisan" kekerasan dari senior serta gengsi kelompok atau komunitas menjadi pemicu kasus perundungan dan kekerasan terus terjadi.
Selain itu, kadang upaya pencegahan dan penanganan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sekolah dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Atau mungkin saja para pemangku kepentingan tersebut sudah merasa melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, tetapi melakukannya dengan cara masing-masing. Belum terintegrasi, terkoordinasi, sinergi, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Lingkungan keluarga, dinas pendidikan, dinas kominfo, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, satuan pendidikan, masyarakat, aparat penegak hukum, media, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lainnya harus sama-sama bergerak secara sinergis dan kolaboratif.
Setiap pihak terkait diharapkan melaksanakan perannya masing-masing dalam mencegah terjadinya tindakan kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Misalnya, Kemendikbudristek melakukan sosialisasi terkait pencegahan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan, maka lembaga lain seperti Kemenkominfo diharapkan menyaring atau memblokir game-game online yang bertema kekerasan, akun-akun yang menyebar konten yang bertema kekerasan, dan men-take down konten-konten yang bertema kekerasan di media sosial.
Ini bukan pekerjaan mudah, karena ibaratnya, hilang satu tumbuh seribu. Satu akun diblokir, lalu muncul akun-akun baru atau akun lama yang berubah nama.
Walau demikian, negara tidak boleh kalah dengan hal-hal negatif yang merugikan masyarakat, khususnya generasi muda. Selain itu, perlu juga melakukan berbagai kampanye atau sosialisasi anti kekerasan dan perundungan melalui beragam bentuk dan beragam kanal media.
Karakter generasi muda sudah banyak terdegradasi oleh dampak buruk game online. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa game online dan konten yang bertema kekerasan berdampak negatif terhadap kepribadian anak dan remaja. Karakter mereka menjadi agresif, emosional, mudah marah, beringas, berpikir "sumbu pendek" dalam mengambil keputusan yang akhirnya merugikan mereka sendiri seperti terjerat masalah hukum.
Mereka pun menjadi individual, kurang memiliki sikap empatik, dan kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Fokus pikiran dan perhatiannya banyak dihabiskan dengan bermain game online. Video-video kekerasan dan perundungan yang viral dan tersebar di media sosial, justru menjadi "inspirasi" dan contoh bagi sebagian anak dan remaja untuk melakukan hal yang sama tanpa berpikir dampak buruk dari tindakan tersebut, seperti berurusan dengan hukum dan trauma terhadap korban.