Masyarakat dikejutkan oleh kasus seorang guru di sebuah sekolah berasrama (boarding school) di Bandung yang melakukan rudapaksa terhadap 12 orang santriwatinya yang masih di bawah umur.
Dari aksi biadabnya tersebut, ada beberapa santriwati yang telah melahirkan bayi dan ada yang sedang hamil. Kini pelakunya sedang diproses secara hukum dan para korban ditangani oleh lembaga perlindungan anak.
Selang beberapa hari, muncul berita kasus guru SD di Cilacap yang merudapaksa muridnya dengan iming-iming diberi nilai mata pelajaran agama yang besar. Kemudian muncul lagi berita kasus seorang guru ngaji di Tasikmalaya yang merudapaksa sembilan orang santriwatinya.
Apakah kasus-kasus rudapaksa guru agama atau guru ngaji terhadap murid atau santrinya adalah fenomena gunung es dari banyaknya kasus yang terjadi? Biarlah aparat yang berwenang yang menelusuri lebih jauh.
Sungguh sangat memprihatinkan kasus rudapaksa terjadi di lingkungan pendidikan, apalagi lingkungan pendidikan berbasis agama (Islam) yang diharapkan menjadi ujung tombak dalam membentuk generasi yang cerdas, saleh-salehah, dan berakhlakulkarimah.
Orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah berasrama (boarding school) atau pesantren tujuannya agar anak-anaknya disamping mendapatkan ilmu umum juga mendapatkan porsi ilmu agama Islam yang lebih banyak untuk bekal hidupnya.
Kegiatan belajarnya diharapkan lebih terkontrol karena biasanya baik di boarding school atau pun di pesantren ada sistem yang mengaturnya. Orang tua pun berharap bisa menghindarkan anaknya dari dampak pergaulan yang kurang baik di masyarakat.
Munculnya kasus rudapaksa yang terjadi di boarding school atau pesantren dan di-blow up oleh media dan netizen secara masif berdampak terhadap tercorengnya nama baik kedua institusi pendidikan Islam tersebut.
Karena kasus tersebut seolah muncul kesan atau stigma bahwa menyekolahkan anak ke boarding school atau pesantren sudah kurang aman lagi. Anak-anak berisiko menjadi korban kekerasan seksual sehingga kepercayaan masyarakat terhadap boarding school dan pesantren menjadi menurun.
Kasus kekerasan seksual bisa terjadi di lembaga mana saja. Mulai dari lembaga pendidikan, organisasi, sampai tempat bekerja. Kasusnya sudah banyak yang terungkap oleh aparat kepolisian.
Oleh karena itu, tidak adil jika lembaga pendidikan Islam disudutkan atas munculnya kasus-kasus kekerasan tersebut. Sebuah peribahasa mengatakan "Karena nilai setitik, rusak susu sebelanga." Karena satu-dua kasus yang muncul di lembaga pendidikan Islam tertentu, maka rusaklah citra lembaga pendidikan serupa.
Dibalik munculnya kasus kekerasan seksual di boarding school dan pesantren, saya termasuk yang yakin masih banyak bahkan sangat banyak boarding school dan pesantren yang melakukan sistem pendidikan dengan baik dan sesuai dengan visi dan misi pendidikan Islam.
Munculnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan Islam tertentu menjadi momentum bagi setiap lembaga pendidikan yang Islam untuk mengevaluasi sistem pembelajaran, sistem pembinaan, sistem pengasuhan, dan sistem pengawasan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan institusi tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kasus serupa tidak terjadi.
Dalam konteks mencegah kekerasan seksual, boarding school dan pesantren perlu menyosialisasikan atau mengintegrasikan pendidikan seksual pada materi pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler. Kekerasan seksual bukan hanya berpotensi dilakukan oleh guru kepada murid, dari senior kepada junior, tetapi juga sesama murid.
Kekerasan seksual bukan hanya terjadi antara yang berbeda jenis kelamin, tetapi juga yang berjenis kelamin sama, karena kasus Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual (LGBT) bisa terjadi juga di lingkungan pendidikan Islam.
Sistem antisipasi kekerasan seksual di lingkungan boarding school atau pesantren diantisipasi mulai dari rekruitmen guru yang memiliki integritas.
Caranya bisa melalui tes psikologi yang memastikan dia memiliki kejiwaan yang normal, tidak memiliki potensi penyimpangan seksual, melakukan telusur apakah calon guru pernah menjadi korban kekerasan seksual waktu kecil karena cukup banyak pelaku kekerasan seksual pernah mengalami kekerasan seksual waktu kecilnya.
Sistem pembinaan pun perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sependek pengetahuan saya, di lingkungan pesantren sebenarnya hal ini sudah dilaksanakan.
Misalnya, pembimbing santri laki-laki oleh guru laki-laki dan pembimbing santri perempuan oleh guru perempuan. Asrama atau tempat menginap dipisahkan antara santri laki-laki dan santri perempuan.
Ruang belajar dan masjid/musala dipisahkan antara santri laki-laki dan santri perempuan. Toilet dan tempat makan santri laki-laki dan santri perempuan dipisahkan. Akses pergaulan antara santri laki-laki dan santri perempuan pun dibatasi bahkan ditutup sama sekali.
Saat kegiatan yang melibatkan santri laki-laki dan santri perempuan dalam jumlah banyak, pihak pesantren pun menugaskan beberapa pembimbing dari guru laki-laki dan guru perempuan. Hal ini selain bertujuan untuk membina karakter, menjamin pelaksanaan pendidikan sesuai dengan norma agama Islam, juga untuk mencegah muncul kasus-kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Munculnya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan mungkin karena sistem pembinaan dan sistem pengawasan yang lemah. Selain itu, ada juga faktor kurangnya integritas oknum guru di lembaga pendidikan tersebut.
Hal ini ini memang sangat memprihatinkan karena guru diharapkan bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya, bukan justru menjadi perusak bagi fisik dan psikologis murid serta pencoreng nama baik lembaga tempatnya bekerja.
Kekerasan di lingkungan pendidikan sebenarnya bukan hanya kekerasan seksual, tapi juga perundungan. Hal ini pun perlu diperhatikan oleh pengelola boarding school dan pesantren.
Masyarakat menaruh harapan yang sangat tinggi terhadap kedua lembaga pendidikan tersebut. Walau demikian, masyarakat pun harus hati-hati sebelum memasukkan anaknya ke boarding school atau pesantren, apalagi yang berlabel gratis, sistem pendidikannya dan manajemennya belum belum jelas.
Masyarakat perlu mencari informasi dari berbagai sumber terkait lembaga pendidikan tempat menitipkan anaknya. Jangan tergiur dengan label gratis walau ada juga lembaga pendidikan yang gratis sekaligus amanah dalam menyelenggarakan sistem pendidikannya.
Pihak boarding school dan pesantren harus terbuka terhadap informasi kondisi murid atau santrinya, khususnya kepada orang tua/walinya.
Pihak manajemen pun menyiapkan saluran pengaduan dan cepat tanggap jika ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi di kalangan murid/ santri sekaligus memberikan jaminan perlindungan karena ada kalanya korban kekerasan tidak mau atau takut melapor karena diancam oleh pelaku.
Kerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak (KPAI), aparat kepolisian, atau lembaga lain yang relevan pun perlu dilakukan dalam sosialisasi dan mengedukasi antikekerasan di lingkungan pendidikan.
Intinya, munculnya kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual di boarding school atau pesantren jangan sampai memunculkan muncul stigma bahwa kedua lembaga pendidikan sudah tidak aman untuk belajar bagi anak-anak.
Masih banyak lembaga pendidikan Islam yang baik dan berintegritas. Pilah, pilih, dan cari informasi terkait lembaga pendidikan yang dituju sebelum memutuskan menyekolahkan anak.
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H