Oleh karena itu, tidak adil jika lembaga pendidikan Islam disudutkan atas munculnya kasus-kasus kekerasan tersebut. Sebuah peribahasa mengatakan "Karena nilai setitik, rusak susu sebelanga." Karena satu-dua kasus yang muncul di lembaga pendidikan Islam tertentu, maka rusaklah citra lembaga pendidikan serupa.
Dibalik munculnya kasus kekerasan seksual di boarding school dan pesantren, saya termasuk yang yakin masih banyak bahkan sangat banyak boarding school dan pesantren yang melakukan sistem pendidikan dengan baik dan sesuai dengan visi dan misi pendidikan Islam.
Munculnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan Islam tertentu menjadi momentum bagi setiap lembaga pendidikan yang Islam untuk mengevaluasi sistem pembelajaran, sistem pembinaan, sistem pengasuhan, dan sistem pengawasan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan institusi tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kasus serupa tidak terjadi.
Dalam konteks mencegah kekerasan seksual, boarding school dan pesantren perlu menyosialisasikan atau mengintegrasikan pendidikan seksual pada materi pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler. Kekerasan seksual bukan hanya berpotensi dilakukan oleh guru kepada murid, dari senior kepada junior, tetapi juga sesama murid.
Kekerasan seksual bukan hanya terjadi antara yang berbeda jenis kelamin, tetapi juga yang berjenis kelamin sama, karena kasus Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual (LGBT) bisa terjadi juga di lingkungan pendidikan Islam.
Sistem antisipasi kekerasan seksual di lingkungan boarding school atau pesantren diantisipasi mulai dari rekruitmen guru yang memiliki integritas.
Caranya bisa melalui tes psikologi yang memastikan dia memiliki kejiwaan yang normal, tidak memiliki potensi penyimpangan seksual, melakukan telusur apakah calon guru pernah menjadi korban kekerasan seksual waktu kecil karena cukup banyak pelaku kekerasan seksual pernah mengalami kekerasan seksual waktu kecilnya.
Sistem pembinaan pun perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sependek pengetahuan saya, di lingkungan pesantren sebenarnya hal ini sudah dilaksanakan.
Misalnya, pembimbing santri laki-laki oleh guru laki-laki dan pembimbing santri perempuan oleh guru perempuan. Asrama atau tempat menginap dipisahkan antara santri laki-laki dan santri perempuan.
Ruang belajar dan masjid/musala dipisahkan antara santri laki-laki dan santri perempuan. Toilet dan tempat makan santri laki-laki dan santri perempuan dipisahkan. Akses pergaulan antara santri laki-laki dan santri perempuan pun dibatasi bahkan ditutup sama sekali.
Saat kegiatan yang melibatkan santri laki-laki dan santri perempuan dalam jumlah banyak, pihak pesantren pun menugaskan beberapa pembimbing dari guru laki-laki dan guru perempuan. Hal ini selain bertujuan untuk membina karakter, menjamin pelaksanaan pendidikan sesuai dengan norma agama Islam, juga untuk mencegah muncul kasus-kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual.