Oleh: IDRIS APANDI
Aku punya seorang teman waktu aku kecil. Beberapa waktu ini memang dia cukup sering datang ke rumahku. Kadang sambil membawa dagangannya karena dia seorang pedagang keliling atau memang sengaja mampir ke rumahku hanya untuk sekadar ngobrol-ngobrol ringan. Tiap dia datang ke rumahku wajahnya selalu ceria. Penampilannya sederhana dan bersahaja. Tidak tampak kesusahan pada dirinya. Dia pun tidak pernah mengeluh terkait kesulitan hidup walau saat ini kondisi sedang sulit dimana masyarakat banyak yang terdampak pandemi.Â
Aku dan dia jarang sekali bicara hal-hal yang serius. Kami hanya ngobrol ringan-ringan saja, bahkan lebih banyak bercandanya, bernostalgia waktu zaman kecil dulu. Setelah SD aku melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi, sedangkan temanku hanya lulusan SD saja. Dia lebih memilih membantu orang tuanya bertani. Kini, dia pun seorang petani. Dia punya beberapa petak sawah dan dia pun suka menjual hasil taninya.
Aku perhatikan, ada satu hal yang menurutku cukup unik dan langka untuk saat ini dari temanku itu, yaitu dia tidak punya HP seperti kebanyakan orang saat ini, termasuk aku yang sudah menjadikan HP sebagai kebutuhan hidup yang utama saat ini. Tanpa HP rasanya mati gaya. Gak bisa ngapa-ngapain. Tapi dia beda.Â
Dia terlihat happy-happy saja tanpa HP. Aku pernah bertanya sama dia, mengapa dia tidak mau punya HP? dia cuma bilang gak tertarik saja katanya. Padahal aku bilang saat ini HP menjadi kebutuhan utama. Biar mudah menghubungi atau dihubungi orang lain, minimal keluarga sendiri. Kan kita tidak tahu. Mungkin suatu saat ada hal yang mendadak sehingga perlu menghubungi atau dihubungi orang lain.Â
Aku menegaskan kepada dia, kalau dia punya HP, aku akan mudah menghubunginya jika aku ada perlu kepadanya. Aku bilang juga sama dia bahwa saat ini HP yang canggih bisa untuk promo barang dagangannya. Aku berkata seperti itu, dia hanya tersenyum saja, tampak kurang antusias menanggapi perkataanku. Dia tidak memberikan alasan yang jelas mengapa dia tidak tertarik memiliki HP.Â
Aku sudah memberikan saran kepada dia agar punya HP, tapi kalau dia tidak menerima saranku, ya sudah, aku tidak bisa memaksanya. Karena dia tidak punya HP, aku pun tidak bisa bertanya kabar tentang dirinya. Kebetulan rumahnya jauh dari rumahku. Jaraknya sekitar 15 KM. Oleh karena itu, aku tidak tahu kapan dia akan datang ke rumahku. Ya semaunya dia saja. Hehe...
Terus terang, aku salut sama dia. Walau jarak rumahnya ke rumahku belasan kilometer, tapi dia masih mau bersilaturahmi ke rumahku. Satu hal lagi, dia berkunjung ke rumahku pakai kendaraan umum. Dari rumahnya, dia harus naik ojeg, lalu naik angkot untuk sampai ke rumahku. Sama halnya dengan soal HP. Dia pun tidak tertarik punya kendaraan, minimal kendaraan roda 2 untuk menunjang aktivitasnya.
Dia tidak seperti kebanyakan orang yang ingin memiliki kendaraan walau dengan cara kredit. Padahal aku yakin dia mampu membeli sepeda motor bekas atau mengkredit sepeda motor baru. Banyak orang yang lebih mementingkan gaya atau penampilan dibandingkan dengan kemampuannya. Istilahnya, biar tekor asal kesohor walau lebih besar pasak daripada tiang.
Aku banyak belajar dari kesederhanaan dan kebersahajaan temanku itu. Dampak positif dari tidak punya HP, dia lebih banyak menggunakan waktunya secara lebih produktif. Tidak banyak rebahan sambil berselancar di dunia maya (walau ada juga sih orang yang kerjanya atau nyari duitnya dengan banyak menggunakan HP).Â
Dia pun tidak ikut stres memikirkan kondisi negara yang gonjang-ganjing apalagi saat ini sedang terkena pandemi. Mata dan telinganya tidak banyak membaca atau mendengar hoaks sehingga bisa hidup lebih tenang.