Tanggal 26 dan 27 Februari 2020 saya mengikuti kegiatan sertifikasi penulis buku nonfiksi dan editor naskah buku yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)/ Lembaga Sertifikasi Penulis dan Editor Profesional bekerjasama dengan sebuah lembaga pelatihan di Kota Bandung.
Saya mengikuti sertifikasi penulis dan editor melalui skema portofolio, karena saya telah menulis puluhan buku dan telah menyunting beberapa judul buku, karena syarat untuk mengikuti sertifikasi penulis buku nonfiksi dan editor melalui jalur portofolio minimal telah menulis tiga judul buku solo dan minimal telah mengeditori tiga judul buku. Buku-buku tersebut wajib dibawa saat kegiatan sertifikasi.
Pada awalnya saya kurang tertarik mengikuti sertifikasi penulis dan editor, karena saya berpikir bahwa bukti fisik kompetensi seorang penulis atau editor cukup karya nyatanya berupa buku yang telah ditulis atau buku yang telah disunting olehnya. Adapun ilmunya bisa didapatkan melalui pendidikan secara khusus atau secara otodidak.
Saya pun awalnya ogah-ogahan saat beberapa orang teman saya yang telah mengikuti sertifikasi serupa menyarankan kepada saya untuk mengikuti sertifikasi, tetapi seiring waktu saya berpikir, di tengah masyarakat yang selalu mengedepankan formalitas, legalitas, dan bukti fisik untuk sebuah kompetensi, maka pada akhirnya saya memutuskan untuk ikut sertifikasi penulis dan editor.
Ditambah kegiatannya dilaksanakan di kota Bandung dan saya pun kebetulan tinggal di wilayah Bandung raya. Jadi, saya bisa cukup mudah menjangkau lokasi kegiatan dan bisa lebih hemat untuk biaya operasional.
Secara yuridis-normatif, sertifikasi bagi penulis dan editor merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Tujuannya untuk menjamin mutu dan standar pelaku perbukuan.
Di tengah hingar bingarnya dunia penulisan saat ini, setidaknya dampak dari gerakan literasi yang saat ini digiatkan oleh pemerintah, satuan pendidikan, organisasi profesi, komunitas, dan berbagai elemen masyarakat lainnya, banyak terbit buku, banyak (yang mengaku) penulis, banyak (yang mengaku) editor, sedangkan secara standar dan legalitas, mereka belum mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi.
Oleh karena itu, saya mengikuti setifikasi ini agar secara hukum terakui dan terlindungi. Siapa tahu, ke depan, syarat penulis buku, khususnya buku-buku yang diterbitkan oleh pemerintah atau yang diizinkan beredar oleh pemerintah, penulis atau editornya harus tersertifikasi LSP/ BNSP. Jadi, setidaknya, saya tidak repot-repot lagi mengikuti sertifikasi, karena sudah memiliki "SIM" untuk keperluan hal tersebut.
Kegiatan uji kompetensi untuk setiap jalur sertifikasi masing-masing dilaksanakan selama satu hari. Tanggal 26 Februari 2020 saya mengikuti uji kompetensi penulis buku nonfiksi, dan tanggal 27 Februari 2020 saya mengikuti uji kompetensi penyunting naskah.
Pada saat uji kompetensi, saya diwawancarai oleh asesor seputar penulisan dan penyuntingan naskah plus diminta melakukan praktik. Untuk penulisan buku nonfiksi, saya diuji menulis draft daftar isi buku dan sinopsis buku, sedangkan untuk penyuntingan naskah, saya diuji mengoreksi naskah yang tanda baca dan penggunaan hurufnya tidak sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Berdasarkan penilaian dari asesor, saya dinyatakan kompeten/ lulus. Sebagai tindak lanjutnya, saya akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti kompetensi dari LSP/BNSP.