Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membangun Asa di Tengah Badai Corona (7)

9 Mei 2020   10:30 Diperbarui: 9 Mei 2020   10:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: IDRIS APANDI 

Aku bersama istri dan kedua anakku pergi bersama ke masjid untuk melaksanakan salat Isya dilanjut salat tarawih. Jarak rumahku ke masjid cukup dekat. Hanya perlu jalan kaki sekitar tiga menit, kami bisa sampai ke masjid.

Di saat ada masjid yang ditutup untuk kegiatan ibadah yang melibatkan banyak jemaah, masjid di tempat tinggalku masih dibuka dengan alasan daerah tempat tinggalku masih zona hijau. Walau demikian, pengurus Dewan Kemakmuran Masjid mengingatkan agar jemaah membawa sajadah sendiri dan menjaga jarak. Karpet masjid sesuai dengan imbauan pemerintah digulung untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona.

Selesai salat tarawih, aku mendatangi ketua DKM, pak Haji Maman. "Pak Haji, ini ada sedikit es pisang ijo untuk jemaah. Semoga bermanfaat." Ucapku sambil menyerahkan satu kantong keresek es pisang ijo kepadanya. "Oh, alhamdulillah Pak Husni. Jazakallaah khairan katsiiran. Kebetulan setelah salat tarawih ada acara tadarusan yang diikuti oleh beberapa jemaah. Nanti saya kasih kepada mereka ya." Ucap kak Haji Maman sambil menyambut gembira pemberianku padanya. "Baik pak haji, saya mohon izin pamit." Ucapku padanya sambil bersalaman.

Aku beserta istri dan kedua anakku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku duduk di ruang tengah rumahku sambil meneguk air putih yang disediakan istriku, sedangkan istri dan kedua anakku duduk-duduk di karpet. Setelah beberapa saat beristirahat, aku mulai membuka pembicaraan. "Bu, gimana buat dagang besok?" Tanyaku pada istriku. Rendi dan Ayu pun ikut memperhatikan pertanyaanku padanya. "Hari ini 'kan kita cuma dapat 10 ribu pak, sedangkan modal habis 75 ribu. Berarti kita tekor modal 65 ribu. Harus ada modal tambahan kalau besok tetap mau dagang." Ucap istriku sambil terlihat wajahnya bingung.

"Kalau uang untuk belanja dapur masih ada bu? Aku bertanya pada istriku. "Ada pak. Sisa 100 ribu lagi." Jawab istriku dengan nada datar. "Bagaiman kalau uang untuk belanja kita gunakan dulu untuk modal dagang besok?" Aku mencoba menawarkan alternatif solusi kepada istriku agar besok bisa berdagang. "Bisa saja pak, tapi bagaimana  kalau  kurang laku lagi?" Bisa-bisa modal pun habis. Terus nanti kita mau makan dari mana dan bayar hutang ke pak Haji Kurdi bagaimana?" Jawab istriku dengan nada yang sedikit meninggi.

"Iya sih bu. Tapi kita tidak boleh menyerah. Kita baru satu hari jualan. Mengapa barang dagangan kurang laku? Itu yang perlu pikirkan penyebab dan jalan keluarnya. Semoga besok dagangan kita laku bu ya." Aku berupaya memberikan optimisme kepada istriku bahwa dibalik kesulitan, pasti ada jalan, asal mau ikhtiar. "Iya pak. Terserah bapak saja. Ibu mah ikut saja." Kata istriku, sambil menambahkan air putih ke dalam gelas yang isinya tinggal lagi.

"Pak, bagaimana kalau kita besok bikin plang yang lebih bagus supaya menarik? Nanti Rendi mau lihat contohnya di internet." Rendi menimpali perbincanganku dengan istriku. Tak mau kalah, Ayu pun ikut bicara. "Kak, bagaimana kalau selain bikin plang, kita promosikan di grup WA, FB, dan IG? Ayu suka lihat yang promo dagangan di medsos." Rendi mengamini usul adiknya tersebut. "Iya dek, bisa. Nanti es pisang ijonya kita foto dan tawarkan di medsos ya." Kakak punya grup WA teman-teman kelas di sekolah. Ucap Rendi pada adiknya. "Ayu juga punya grup WA teman-teman sekolah, hanya HP-nya masih pinjam yang punya ibu." Ayu menimpali ucapan kakaknya tersebut.

"Rendi dan Ayu, anak-anak yang soleh dan solehah. Bapak dan ibu bangga kepada kalian yang memberikan saran agar dagangan kita laku. Ini semua demi hidup kita yang lebih baik." Ucapku kepada kedua anakku sambil memeluk mereka berdua. "Baiklah, ini sudah malam. Kita siap-siap tidur, supaya sahur tidak kesiangan." Aku melanjutkan kata-kataku sembari mengajak istri dan kedua anak-anakku untuk istirahat.

Waktu terus beranjak malam. Jam menunjukkan pukul 23.30.  Istri dan kedua anakku sudah tidur lelap, sedangkan aku belum bisa memejamkan mata. Aku menatap wajah istriku. Dia tidur pulas sekali. Mungkin karena capai setelah tadi siang belanja ke pasar dari pasar dan menyiapkan es pisang ijo untuk dijual. Rendi tidur di tengah rumah beralaskan karpet, sedangkan Ayu tidur kamar sebelah. Aku memang melarang anak-anak yang sudah beranjak remaja untuk tidur dalam satu kamar. Oleh karena itu, Rendi mengalah. Dia tidur di ruang tengah.

Rumah ku memang cukup kecil. Hanya berukuran 10 x 8 meter, yang terdiri dari ruang tengah tempat berkumpul keluarga, dua kamar tidur, dapur, dan satu kamar mandi. Rumah tersebut saya beli dengan menyicil dari seorang teman yang saat itu terdesak perlu uang. Sebelum menempati rumah tersebut, aku dan istriku mengontrak sebuah kamar di daerah Cibaligo selama lima tahun. Rendi, anakku yang pertama lahir saat aku beserta istriku masih ngontrak di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun