MEMBANGUN ASA DI TENGAH BADAI CORONA (5)
Oleh: IDRIS APANDI
 "Baiklah kalau begitu pak. Bagaimana baiknya saja. Ibu mah ikut saja" Ucapku istriku setelah mendengarkan penjelasanku. Alhamdulillah, aku punya istri yang taat dan menurutku, dia mampu mengelola keuangan dengan baik. Waktu aku masih kerja di pabrik, gajiku 2,5 juta per bulan. Uang segitu diatur oleh istriku untuk biaya dapur, ongkos aku ke pabrik, dan biaya sekolah kedua anakku.
"Gini saja bu, yang 250 ribu buat belanja kebutuhan dapur, 200 ribu untuk modal dagang, dan 30 ribu buat bapak. Buat jaga-jaga beli bensin bu." Ucapku padanya. "Iya pak. Boleh." Istriku mengamini saranku sambil memberikan uang 30 ribu padaku. "Terus kita mau dagang apa pak? 'Kan beberapa orang tetangga kita juga sudah dagang. Biar dagangannya tidak sama dengan mereka." Tanya istriku padaku.Â
"Hmhh... dagang apa ya bu? Sekarang kan bulan puasa, bagaimana kalau kita dagang takjil saja?" Saranku padanya. "Takjil? Boleh saja sih, tapi kita cek dulu tetangga kita yang juga jualan takjil. Biar dagangannya tidak sama, dan mereka tidak merasa tersaingi dan dagangan kita bisa laku. Biar sama-sama maju pak." Ucap istriku sambil mengernyitkan dahinya.
"Bu Salma jualan kolek, bu Hani jualan es campur dan es kelapa, bu Rita jualan gorengan. Terus pak Udin jualan cilok. Hmhh... Bagaimana kalau kita jualan es dawet atau es pisang ijo bu?" Saranku padanya.Â
"Menurut ibu, bagaimana kalau kita dagang es pisang ijo aja pak? Di kampung ini belum ada yang jualan es pisang ijo. Jawab istriku dengan penuh semangat. "Baik bu. Bapak ikut saja kalau hal tersebut menurut ibu lebih menjanjikan." Kataku padanya sambil menganggukkan kepala.
"Ibu sekarang mau ke warung dulu. Beli beras dan lauk-pauk. Ini udah sore. Takut telat masak untuk buka puasa." Kata istriku sambil siap-siap beranjak dari kursi. "Baiklah bu. Mohon uang itu diatur-diatur saja. Alhamdulillah, masih ada yang ngasih pinjaman di saat sulit begini. Menu makan buka dan sahur seadanya saja ya, ga perlu banyak macamnya. Kita harus ngirit bu. Mudah-mudahan Rendi dan Ayu pun tidak rewel dan bisa menerima kondisi seperti ini. Bapak juga mau mandi dulu." Kataku sambil memegang pundak istriku untuk meyakinkannya. "Iya pak." Istriku dengan singkat menanggapi kata-kataku sambil pergi dari hadapanku.
Keesokan harinya, istriku pergi belanja ke pasar membeli bahan-bahan untuk jualan es pisang ijo. Saat pulang ke rumah, aku perhatikan istriku membawa sesisir pisang nangka dan sekantong keresek bahan-bahan lainnya. Istriku memang suka memasak berbagai jenis dan berbagai jenis kue. Menurutku, hasilnya selalu enak. Dia punya bakat memasak. Mungkin bakatnya diturunkan dari ibu mertuaku yang juga hobi memasak.
Dari setelah pulang dari pasar, dia meracik bahan-bahan untuk membuat es kelapa ijo. Ayu, anakku yang perempuan juga membantu ibunya sekalian belajar membuat kuliner, karena perempuan harus bisa masak. Suatu saat dia pun akan berumah tangga, harus melayani suami dan menyajikan makanan yang enak bagi suami dan anak-anaknya.Â
Sedangkan Aku dan Rendi, anak pertamaku di kebun, memeriksa dan menyiram tanaman cabai yang sudah mulai tumbuh bunga-bunganya. Aku menanam cabai dan tomat pada pot dan jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa pot saja. Maklum, aku tidak punya lahan pekarangan rumah yang luas. Cabainya pun bukan untuk dijual, hanya untuk konsumsi sendiri saja. Lumayan, bisa mengurangi biaya belanja dapur.