CORONA MEMBUATKU MERANA, TAPI TAK BOLEH PUTUS ASA (2)
Oleh: IDRIS APANDI
Aku pun mengeluarkan sepeda motor bebekku yang kusimpan di ruangan dekat dapur. Sejak aku dirumahkan dari pabrik tempatku bekerja, motor itu lebih banyak nganggur alias disimpan di ruangan dekat dapur daripada dikendarai. Hanya sewaktu-waktu saja mesinnya kupanaskan atau aku gunakan jika ada keperluan saja.Â
Aku menggunakan masker, sarung tangan, helm, dan jaket karena sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, setiap pengendara motor harus menggunakan perlengkapan tersebut kalau tidak ingin diberi surat peringatan dari polisi yang berjaga dan memeriksa pengguna jalan, mengingat di beberapa tempat sudah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah pemudik dari luar daerah.
Mesin motor pun kuhidupkan, jarum indikator BBM menunjukkan BBM-nya tinggal setengah lagi. Semoga saja cukup untuk pergi dan pulang dari rumah pak Haji Kurdi. Jarak rumahku ke rumahnya sekitar 15 km. Berarti kalau PP, jarak tempuhnya sebanyak 30 km. Sebelumnya aku sudah menghubungi Pak Haji Kurdi. Aku menyampaikan bahwa aku akan bersilaturahim ke rumahnya. Dan alhamdulillah, dia bersedia untuk menerimaku. Sebenarnya aku malu, tapi tak ada pilihan lain, karena terdesak oleh kebutuhan, aku pun memberanikan diri datang ke rumahnya.
Tahun 2011 sampai dengan 2015 aku pernah bekerja di percetakannya pak Haji Kurdi, tetapi karena aku tergiur dengan upah di pabrik yang lebih besar, maka aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari percetakannya. Walau berat hati, dia pun mengizinkan aku untuk mengundurkan diri, karena menurut dia, adalah hakku untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penerbit miliknya bukanlah penerbit besar dan selalu ada order percetakan yang banyak, sehingga dia pun tidak bisa memberikan upah yang besar kepada karyawannya, sedangkan kalau pabrik ada UMR yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Waktu menunjukkan pukul 09.00. Cuaca cukup cerah, sinar matahari mulai terasa memanasi kulit. Bismillah, aku pun memacu sepeda motorku menuju rumah pak Haji Kurdi di daerah Pagarsih Bandung. Sepanjang jalan aku berdoa dan berharap semoga ikhtiarku berhasil. Pak Haji Kurdi bersedia meminjamiku uang, karena aku sangat membutuhkannya.
Aku sudah memasuki setengah perjalanan, tepatnya sudah sampai di lampu merah Pasteur. Lampu merah menyala sekitar 10 menitan. Para pengguna jalan harus sabar menunggu lampu hijau menyala. Lalu lampu hijau pun menyala. Aku memacu kendaraanku pelan-pelan. Selepas lampu merah, dari kejauhan tampak aparat kepolisian berjaga dan memeriksa setiap pengendara yang melewati Pasteur.
Aku pun diberhentikan oleh polisi. Oleh polisi aku ditanya surat-surat kendaraan, tujuan perjalanan, dan dicek suhu tubuh. Aku agak khawatir juga, jantungku berdetak kencang, takut disuruh putar balik oleh polisi. Alhamduillah, aku dibolehkan melanjutkan perjalanan karena surat-surat kendaraanku lengkap dan suhu tubuhku tidak melebihi 37 derajat celcius.
Singkat cerita, aku sampai di rumah pak Haji Kurdi. Aku memencet gerbang rumahnya, lalu ada seseorang yang keluar hendak membuka gerbang. Ternyata itu adalah Ferdi, anak ketiga pak Haji Kurdi. Dia tampak sudah remaja. Saat terakhir aku melihatnya, dia masih pelajar SMP. "Eh pak Husni, silakan masuk pak." Dia menyapaku dengan ramah.Â
"Terima kasih Dek Ferdi." Ucapku sambil melewati pintu gerbang. "Bapak ada Dek? Tanyaku padanya. "Ada pak." Jawabnya singkat sambil melangkah ke arah pintu rumah.