Semua pihak sudah mafhum bahwa masalah pendidikan tidak akan lepas dari peran guru, bahkan bisa dikatakan bahwa guru merupakan garda terdepan atau ujung tombak peningkatan mutu pendidikan. Apapun kurikulum yang diberlakukan, akan sangat tergantung kepada mutu guru. Mengapa demikian? karena guru adalah pelaksana, pengembang, bahkan guru sebagai kurikulum itu sendiri (teacher as a living curriculum).
Bicara mutu pendidikan, memang guru bukan satu-satunya penentu. Di situ ada kurikulum dan sarana-prasarana pendidikan. Walau demikian, peran guru sangat sentral dan vital. Walau saat ini teknologi canggih sudah mendukung proses pembelajaran seperti halnya pada pembelajaran daring, tetapi peran guru tidak akan dapat tergantikan, karena dalam proses belajar-mengajar, perlu ada sentuhan hati (soft skill) dari seorang guru kepada para siswanya. Dan hal ini yang tidak bisa lakukan oleh robot atau teknologi.
Sepanjang pendidikan masih dilakukan, maka masalah mutu guru adalah hal yang tidak akan pernah selesai dibicarakan. Mengapa? karena guru perlu untuk meningkatkan profesionalitasnya. Mutu guru selalu menjadi sorotan terkait dengan masih rendahnya mutu pendidikan. Pascasertifikasi guru yang digulirkan tahun 2006, diharapkan peningkatan kesejahteraan guru berimbas terhadap peningkatan profesialisme. Sederhananya, dalam pembelajaran yang bermutu, ada guru yang bermutu.
Guru harus mampu menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, peningkatan mutu guru adalah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai. Guru harus mampu meningkatkan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Dan bicara peningkatan mutu guru, hal ini menjadi tanggung jawab berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah, yayasan penyelenggara pendidikan, organisasi profesi guru, dan guru itu sendiri.
Saat mutu pendidikan rendah, maka pihak yang pertama kali disebut adalah guru. Mereka seolah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab kondisi tersebut. Â Menurut saya, hal itu kurang bijak dan terlalu menghakimi guru. Persoalan mutu pendidikan jangan dilihat menggunakan kaca mata kuda, tetapi harus dilihat secara holistik. Pembehahan mutu pendidikan harus dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Mulai dari tataran regulasi hingga tataran teknis di lapangan.
Secara normatif, regulasi terkait guru sudah ada. Mulai dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur tentang guru.
Menurut saya, kalau mau menghasilkan guru yang berkualitas, maka harus dimulai dari proses rekruitmen calon guru oleh Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Saya pernah menulis usul agar Kemendikbud dan Kemenag mendirikan kembali SPG (Sekolah Pendidikan Guru), Sekolah Guru Olah Raga (SGO) dan Pendidikan Guru Agama (PGA). SPG, SGO, dan PGA pernah berjaya mencetak calon-calon guru, tapi sekitar tahun 1990an dibubarkan. Mungkin, bagi sebagian pihak, ide saya ini utopis, jadul, kurang kekinian, tapi menurut saya, SPG, SGO, dan PGA adalah "SMK"-nya atau cikal bakalnya calon guru. Orang yang masuk ke SPG, SGO, dan PGA, minimal dalam hatinya sudah berniat atau bercita-cita menjadi guru. Lulusan-lulusan dari SPG, SGO, dan PGA yang telah dibekali ilmu pedagogik dasar, lalu melanjutkan ke LPTK dan mereka dimatangkan untuk menjadi calon guru hingga lulus dari LPTK dan siap menjadi guru yang profesional.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 95/PUU-X/2012, guru telah menjadi profesi yang terbuka. Sarjana yang berasal dari latar belakang apapun bisa menjadi guru. Oleh karena itu, seorang guru harus lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan guru yang profesional. Saat ini pun ada aturan bahwa sarjana pendidikan tidak otomatis menjadi guru, tetapi juga harus lulus PPG.
Selain seleksi calon guru, mutu LPTK-nya juga perlu ditingkatkan, dalam artian peningkatan mutu dan relevansi kurikulum, peningkatan mutu dosen, dan sarana-prasarananya. Tidak bisa dipungkiri, mutu LPTK akan berdampak terhadap mutu lulusannya. Saya kira para penyelenggara LPTK pun telah menyadari masalah ini, dan tentunya mereka terus melakukan inovasi agar lulusan mereka bermutu, apalagi saat ini tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan semakin kompleks dalam rangka menyongsong revolusi industri 4.0.
Lalu mutu lembaga pelatihan guru pun perlu ditingkatkan, karena lembaga tersebut menjadi ujung tombak dalam peningkatan mutu guru. Peningkatan mutu pelatihan guru tidak akan lepas dari peran Widyaiswara. Oleh karena itu, sebelum meningkatkan mutu guru, maka mutu WI sebagai pelatih guru pun harus ditingkatkan. Selain itu, kurikulum diklat juga harus disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dan tentunya sarana-prasarana diklatnya juga harus memadai.
Peran pengawas tidak bisa diabaikan. Mereka adalah orang yang terjun langsung membina guru di sekolah. Kedatangan mereka ke sekolah diharapkan membawa ilmu dan informasi baru untuk para guru. oleh karena itu, profesionalitas mereka pun perlu ditingkatkan. Belum lagi peran kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pembelajaran. Kepala sekolah perlu memiliki pola pikir (mind set) untuk memberi peluang kepada guru-gurunya untuk meningkatkan profesionalitasnya.