Oleh: IDRIS APANDI (Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Pada bulan ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa. Semua sudah mafhum bahwa hakikat puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi yang paling utama adalah menahan hawa nafsu, karena Rasulullah Muhammad Saw bersabda bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga. Mengapa demikian? Karena dia tidak mampu menahan hawa nafsunya.
Bulan Ramadan di Indonesia penuh ragam dan penuh warna. Sebagai negara yang mayoritas beragama Islam dan terdiri dari beragam etnis dan suku buku bangsa, umat Islam menyambut ramadan dengan suka cita melalui beragam tradisi. Seperti mandi bersama di sungai, membersihkan masjid, mencuci karpet masjid di sungai, ziarah kubur, dan sebagainya. Aktivitas membangunkan sahur pun beragam, ada yang berkeliling kampung sambil memainkan alat-alat musik dan bernyanyi dan ada juga yang menggunakan pengeras suara dari masjid.
Sebelum berbuka puasa dikenal tradisi ngabuburit yang berbagai kegiatan menunggu datangnya buka puasa pada waktu magrib. Begitupun pelaksanaan salat tarawih, selain jumlah rakaatnya yang beragam, yaitu 11 dan ada ada yang 23 rakaat, dalam tata caranya pun berbeda-beda, ada masing-masing dua rakaat terus salam, ada yang tiap empat rakaat terus salam.
Ramadan pun tidak lepas dengan beragam kuliner yang dinikmati baik saat sahur ataupun berbuka puasa. Dan Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan kuliner khas di berbagai daerah. Orang-orang yang berbuasa pada sore hari berburu takjil untuk berbuka puasa. Orang-orang yang beragam etnis dan suku bangsa bertemu pada satu titik, yaitu pasar kuliner. Begitu pun di masjid, orang-orang muslim yang beragam latar belakang bertemu untuk melaksanakan buka puasa atau salat tarawih berjamaah.
Inilah multikulturalisme. Bulan ramadan telah menjadikan ramadan penuh dengan warna-warni tradisi dan budaya. Mahfud (2015:xix) menyampaikan bahwa multikulturalisme sebagai paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak dan esksistensi budaya yang lain penting kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultural. Jika tidak, dalam masyarakat kita kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik akibat ketidak-salingpengertian dan pemahaman terhadap realitas multikulral tersebut.
Puasa menjadi sarana pendidikan (tarbiyah), utamanya mendidik seorang umat Islam untuk mengendalikan diri dari berbagai godaan duniawi. Dalam konteks pendidikan yang lebih luas, bulan ramadan menjadi sarana untuk menanamkan pendidikan multikultural. Menurut Syafiq A. Mughni dalam Choirul Mahfud (2014 : viii) pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia, serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
Menurut Azra (2002) dalam Suryana dan Rusdiana (2015:197) pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etnokultural, dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi, pluralitas, kemanusiaan universal, serja subjek-subjek lain yang relevan.
Musa Asyarie (2004) dalam Suryana dan Rusdiana (2015:197) berpendapat bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah peserta didik memiliki kekenyalan dan kelenturan mental dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan pada kesetaraan dan menghargai perbedaan.
Penerapan pendidikan multikultural pada bulan ramadan antara lain; dimulai dari saling menghormati dalam cara menentukan awal ramadan. Organisasi Umat Islam seperti Nahdlatul Ulama menentukan awal ramadan melalui metode melihat bulan (rukyatul hilal) sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode menghitung (hisab) sehingga jauh-jauh hari telah dapat menentukan awal ramadan. Dua metode tersebut sama-sama memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga tidak perlu pertentangkan. Masyarakat diberikan kebebasan dan keleluasaan akan mengikuti metode yang mana.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan toleransi. Orang yang tidak berpuasa menghormati orang yang berpuasa, tidak terlalu vulgar menunjukkan kegiatan makan dan minumnya. Warung-warung makanan walaupun ada yang buka, tapi masih ditutupi dengan tirai. Tujuannya menyediakan makanan bagi yang tidak berpuasa, seperti wanita yang sedang haid, orang yang sedang sakit, musafir, atau nonmuslim. Razia terhadap warung-warung yang masih buka atau menjual makanan pada bulan Ramadan oleh ormas tertentu kadang suka menimbulkan konflik horizontal. Sebaiknya pemerintah saja yang membuat regulasi dan menertibkannya supaya suasana ramadan tetap kondusif. Potret toleransi juga terlihat saat umat non muslim memberikan takjil atau menyelenggarakan acara buka bersama umat Islam yang berpuasa.