Ada sebuah pemandangan yang miris ketika para tersangka korupsi yang memakai rompi oranye Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersenyum dan melambaikan tangan kepada sejumlah awak media.
Sepintas senyum dapat diartikan seperti rendahnya atau tidak adanya rasa menyesal dan budaya malu dari mereka yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum, melanggar sumpah jabatan, dan menghianati kepercayaan rakyat tersebut.
Senyum itu bisa juga hanya sebatas topeng untuk menutupi rasa malunya dan berusaha tegar di depan sorot kamera.
Di balik dua kemungkinan tersebut, intinya hukuman terhadap pelaku korupsi belum menimbulkan efek jera. Hukuman mati, pemiskinan, dan kerja sosial bagi terpidana korupsi masih menjadi wacana yang mengundang pro dan kontra.
Senyum para tersangka korupsi pun menurut saya bisa sebagai bentuk pelecehan terhadap hukum dan aparat penegak hukum, karena ketika nanti dipidana penjara, mereka masih bisa membeli hukum dan menyuap aparat penegak hukum.
Beberapa waktu yang lalu ditemukan sel mewah di LP Sukamiskin. Untuk mendapatkannya tentunya tidak murah. Oknum terpidana korupsi harus membayar hingga ratusan juta kepada oknum sipir atau kepala LP.
Kasus yang paling akhir adalah sebanyak 41 orang anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka korupsi. Itu adalah potret ganasnya perilaku korupsi berjamaah di daerah dengan melibatkan pejabat di eksekutif, legislatif, aparat hukum, dan pengusaha atau pihak swasta.
Di daerah lain pun bisa saja terjadi puluhan anggota DPRD bisa jadi tersangka korupsi, tapi belum sial saja, belum terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Di tengah semangat pemberantasan korupsi, para calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi pun menggugat ke Mahkamah Agung (MA) peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang caleg mantan terpidana korupsi ikut menjadi caleg.
Alasannya adalah, mereka telah mendapatkan hukuman kurungan, membayar ganti rugi, dan hukuman sosial, serta telah memperbaiki diri.
Selain itu, larangan para mantan terpidana korupsi menjadi caleg dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).