Tanggal 27 Juni 2018 provinsi Jawa Barat akan menjadi salah satu daerah yang akan mengikuti Pilkada Serentak. Selain memilih gubernur, beberapa daerah juga menyelenggarakan pemilihan bupati/wali kota.Â
Masa kampanye selama beberapa bulan sudah usai, dan saat ini memasuki masa tenang. Dan melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan jelang hari pencoblosan melalui filosofi tokoh Kabayan.
Bagi masyarakat Jawa Barat yang banyak didominasi etnis Sunda, tokoh Kabayan sudah sangat familiar dengan tokoh Kabayan. Hal yang terbayang dari tokoh Si Kabayan adalah seorang tokoh fiksi, memiliki karakter yang polos, jenaka, sederhana, cerdas, kritis, dan cerdik dalam mengatasi berbagai persoalan hidup.
Cerita Si Kabayan suka dijadikan sebagai dongeng, bahkan jadikan dengan film atau sinetron yang di samping menghibur, juga mengajak pembaca, pendengar, atau penontonnya untuk melakukan refleksi dan menertawakan diri sendiri, karena ada kalanya dongeng atau cerita Si Kabayan adalah cerminan kehidupan kita sendiri.
Dalam sebuah satu film yang diperankan oleh almarhum Didi Petet, si Kabayan, suami Iteung, oleh Abah, mertuanya suka dipanggil Si Borokokok karena kelakuannya yang kadang dinilai mengesalkan walau pada akhirnya si Kabayan muncul sebagai pahlawan.
Bagi seorang Kabayan, tidak ada masalah yang sulit dan tidak ada penyelesaiannya, tetapi setiap masalah yang sulit dapat disederhanakan dan ada solusinya.
Di balik segala sikap sederhananya, sebenarnya banyak sekali falsafah hidup yang diajarkannnya kepada para pembaca kisahnya yang disampaikan melalui humor yang tanpa menggurui.
Asep Salahuddin, dalam bukunya Sufisme Sunda (2017 : 93) menggambarkan sosok Si Kabayan dengan manusia yang telah mengalami makam sirna rasa. Dia bergaul dengan dunia di luar dirinya, tapi kepribadiannya tetap ajeg, lurus, dan berkarakter.Â
Asep Salahuddin mengibaratkan Si Kabayan sebagai "manusia setengah dewa". Utuy T. Sontani menyebutnya sebagai manusia "manusia anu geus teu nanaon ku nanaon". Ia adalah manusia yang selalu berada di titik moderat, ngajegang antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Si Kabayan merupakan manusia yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari kebenaran walaupun dia, misalnya harus meruntuhkan kekeramatan lembaga kekiaian atau memerankan diri sebagai dukun atau jurig.Â
Peran-peran sosial itu dilakoninya dengan rasa jenaka. Bahkan dalam ranah kebudayaan Sunda, Kabayan merupakan sosok yang berada dalam kualifikasi sufi, bahkan jadi seorang wali yang tengah menyamar menjadi manusia yang penuh ambiguitas dan terkadang kecerdasannya itu dibungkus dalam ketidakcerdasan.