Saya sendiri pun prihatin melihat tokoh-tokoh yang ada di Dewan Pengarah BPIP tersebut menjadi bahan bulan-bulanan netizen, karena saya yakin mereka tidak meminta fasiilitas yang fantastis kepada negara, apalagi menyangkut Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa, dan dasar negara yang harus dipertahankan, dilestarikan, dan ditanamkan kepada setiap generasi bangsa.
Kedudukan mereka sebagai negarawan, menjadikan mereka adalah tokoh yang sangat dihormat dan disegani, serta diharapkan menjadi contoh teladan bagi masyarakat. Oleh karenanya, publik berharap para tokoh tersebut segera bersikap tegas berkaitan dengan polemik masalah gaji agar hal ini tidak berlarut-larut. Isunya tidak digeser menjadi isu politik mengingat tahun ini sudah masuk tahun politik.
Kisruh masalah gaji dan tunjangan yang diterima oleh BPIP telah sedikit mengganggu kehidmatan dari perayaan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni. Media dan publik lebih tertarik membicarakan tentang persoalan gaji dan tunjangan BPIP dibandingkan bagaimana cara menghayati, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila untuk menjaga keutuhan NKRI.
Alangkah eloknya jika semua tokoh yang ada di BPIP bisa menyikapi polemik ini dengan bijak. Presiden Joko Widodo pun perlu secara bijak mengkaji kembali Nomor 42 Tahun 2018, karena perpres tersebut menjadi bahan sorotan kepada pribadi presiden, meski besaran gaji BPIP ditentukan Kementerian Keuangan.
Setiap warga bangsa perlu kembali merenung terhadap proses lahirnya Pancasila yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa. Dan tentunya tidak lepas dari sosok para perumusnya, utamanya Soekarno, sang proklamator kemerdekaan RI.
Sebagai ideologi negara, Pancasila adalah final dan merupakan amanah dari para pendiri negara yang harus dilestarikan. Semua warga bangsa harus belajar keikhlasan dari para pendiri bangsa ini, dimana mereka tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan bagaimana NKRI dapat tetap kokoh berdiri.
Salah satu ajaran Pancasila adalah sikap rela berkorban. Dan hal itu memang harus bisa dicerminkan dan diteladankan oleh para tokoh bangsa. Kita sering mengutip pernyataan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yaitu "jangan berpikir apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tapi apa yang kau bisa diberikan kepada negara."
Untaian kalimat itu begitu indah, mudah diucapkan, tapi pelaksanaannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kalau mental materialisme dan pragmatisme sudah merasuk dalam pribadi warga bangsa.
Berdasarkan kepada hal tersebut, momentum peringatan Hari Lahir Pancasila jangan sampai ternodai oleh polemik soal gaji BPIP. Ada hal yang lebih besar yang perlu dipikirkan, yaitu bagaimana merevitalisasi dan menginternalisasikan membumikan Pancasila dalam setiap dada warga bangsa, sehingga "saya Indonesia, saya Pancasila" bukan hanya sebatas slogan yang kering akan makna, tetapi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wallaahu a'lam.
Idris Apandi
Pemerhati Masalah Sosial