Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikmat Menulis Mana yang Akan Didustakan?

18 Maret 2018   06:41 Diperbarui: 18 Maret 2018   17:21 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
timeshighereducation.com

Bagi sebagian orang menulis adalah kegiatan yang sulit. Ingin melakukannya, tapi bingung memulai dari mana. Ide berkecamuk di dalam pikiran, tetapi sangat sulit dicurahkan menjadi sebuah untaian kalimat yang enak untuk dibaca. Kata pertama yang akan dituliskan pun bingung. Akhirnya niat menghasilkan karya tulis pun sirna. Ide-ide yang terserak akhirnya dibiarkan begitu saja karena belum mampu diolah menjadi sebuah tulisan yang runtut dan sistematis.

Harus diakui, proses awal menulis memang sulit. Tidak ada yang langsung lancar menulis, termasuk saya sendiri pun merasakannya. Tetapi dengan modal rasa ingin bisa, ingin memiliki karya tulis seperti para penulis yang hebat, dan memiliki minat yang besar dalam dunia menulis, maka saya pun ditengah keterbatasan "nekad" terus menulis sampai akhirnya saya menemukan passion menulis saya.

Ketika ada yang mengkritik tulisan saya, saya anggap sebagai "bumbu penyedap", dan saya berpikir seperti halnya sebuah pertandingan sepak bola, komentator seolah lebih pandai dari pemain, padahal di saat diminta untuk bermain ke dalam lapangan belum tentu lebih baik. Walau demikian, komentator tetap diperlukan agar jalannya pertandingan semarak dan menarik.

Ketika saya sudah menulis sekian banyak tulisan, apalagi beberapa tulisannya dimuat koran, disitulah rasa ketagihan mulai muncul. Saya semakin bersemangat menulis. Ternyata tulisan saya tidak kalah kualitasnya dengan yang lain. Sang redaktur koran mau menerbitkan tulisan saya.

Saya pun mulai menikmati dunia menulis. Hal pertama yang saya rasakan adalah kepuasan batin bisa mencurahkan ide dan gagasan saya. Rasanya plong kalau sudah menyelesaikan satu tulisan. Bagi saya menulis adalah sebuah terapi jiwa. Di kala hati sedang gembira, sedih, kesal, saya curahkan melalui tulisan.

Menulis memang butuh kepekaan. Setiap peristiwa atau fenomena dapat menjadi bahan tulisan. Dan rasanya mengganjal kalau tidak segera dituliskan. Khawatir idenya pergi, hilang, atau tertumpuk oleh ide yang lain. Bagi seorang penulis, ide adalah hal yang sangat berharga. Oleh karena itu, ketika ada ide, sang penulis segera mencatatnya dalam note gawainya, atau bukunya. Bahkan ada yang langsung menuliskannya. Dari sebuah ide yang sederhana bisa menjadi sebuah tulisan yang runtut dan enak dibaca.

Selain sebagai sarana berbagi ide atau gagasan, menulis juga menjadi sarana untuk bersilaturahim. Silaturahim melalui tulisan tidak akan terhalang ruang dan waktu. Apalagi saat ini media sosial sudah banyak digunakan oleh masyarakat. Dalam hitungan detik, sebuah tulisan yang diposting bisa dibaca, menyebar, bahkan bisa menjadi viral. Tulisan yang bermanfaat dan mencerahkan tentunya akan menjadi amal kebaikan bagi penulisnya. Pahalanya akan terus mengalir meskipun dia sudah tiada. Itulah yang yang dilakukan oleh para ulama yang mengarang kitab-kitab yang sampai dengan saat ini dipelajari oleh para santri. Untaian doa terpanjat ketika kitab-kitab mereka dipelajari.

Tulisan menjadi alat untuk mengetuk pintu hati bagi para pembacanya. Alat untuk membuka kesempatan berkarya di ajang yang lebih luas. Saya melihat banyak guru yang bisa pergi umrah atau berkunjung ke luar negeri karena karya tulisnya terpilih menjadi pemenang. Menulis bisa menjadi alat untuk menarik rezeki. Saya merasakan sendiri, karena tulisan-tulisan yang saya buat, cukup banyak pihak yang tertarik mengundang saya untuk mengisi pelatihan menulis atau mengisi seminar berkaitan dengan masalah yang saya tulis. Ketika buku-buku saya ada yang membeli, itu pun adalah sebuah rezeki.

Menulis menjadi sarana untuk menambah koneksi atau jaringan. Ditengah semarak gerakan literasi dan tuntutan peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan menulis menjadi hal yang penting. Tentunya sekolah, pemerintah, atau penyelenggara pelatihan menulis memerlukan narasumber yang kompeten dan praktisi di bidangnya. 

Dan kompetensi seorang penulis bisa diukur juga dari berapa banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Buku-buku yang ditulisnya, selain menjadi sebuah karya monumental, juga menjadi "kartu nama" baginya. Dia tidak perlu mempromosikan dirinya. Cukuplah karya-karyanya yang mempromosikannya. Orang menjadi besar bukan karena sekedar nama, tetapi besar karena karyanya.

Diakui atau tidak, tulisan adalah gambaran kompetensi seseorang, utamanya kalangan akademisi. Akademisi yang memiliki kemampuan menulis akan mendapatkan tempat yang khusus, karena menulis merupakan sebuah kemampuan atau keterampilan yang belum tentu pula bisa dilakukan oleh setiap akademisi. Realitanya banyak akademisi yang kesulitan menulis. Jangankan menjadikan menulis sebagai hobi atau profesi, untuk sekedar memenuhi angka kredit untuk kenaikan pangkat pun sulit. Bagi para pelakunya, menulis itu nikmat. Menulis membuat hidup makin hidup. Mari menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun