Kurikulum 2013 (K-13) sudah dilaksanakan sejak tahun pelajaran 2013/2014 dan pernah dihentikan sementara (moratorium) pada tahun 2015 bagi sekolah-sekolah yang baru satu semester mengimplementasikan K-13 saat Anies Baswedan menjabat Mendikbud. Dan setelah Mendikbud diganti oleh Muhadjir Effendy, implementasi K-13 diberlakukan di setiap sekolah secara bertahap.
Dalam rangka memantapkan implementasi K-13, pemerintah melaksanakan diklat/bimtek K-13 mulai dari Instruktur Nasional, Instruktur Provinsi, Instruktur Kabupaten/Kota, hingga guru-guru sasaran. Walau demikian, ada guru yang belum mendapatkan perhatian dari pemerintah, yaitu guru-guru muatan lokal (mulok), khususnya mulok wajib Bahasa Daerah, padahal mereka pun wajib mengimplementasikan dan menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan paradigma K-13 seperti pendekatan saintifik, kompetensi abad 21 (4C), kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill/ HOTS), dan penilaian otentik. Belum lagi integrasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan literasi.
Kalau saya telaah, program diklat/bimtek K-13 mulai jenjang SD, SMP, dan SMA, dan SMK yang disusun dan diselenggarakan oleh kemdikbud hanya mengakomodir kelas dan mata-mata pelajaran yang masuk ke dalam kurikulum nasional saja, sedangkan mata pelajaran mulok diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota). Walau demikian, ternyata pemerintah daerah belum ada yang belum memprogramkan diklat/bimtek K-13 bagi guru-guru mulok wajib bahasa daerah. Akibatnya para guru mulok wajib bahasa daerah tertinggal informasi bahkan merasa dianaktirikan oleh pemerintah.
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau guru-guru mulok wajib bahasa daerah sebenarnya ada yang mencoba mempertanyakan atau mempersoalkan masalah tersebut kepada pemegang kebijakan, tetapi tak kunjung mendapatkan titik terang. Ketiadaan anggaran biasanya menjadi alasan klasik belum diselenggarakannya diklat/bimtek K-13 di daerah bagi guru-guru mulok wajib bahasa daerah.
Pertanyaannya adalah bukankah sebelumnya sudah ada kesepatakan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkaitan dengan penyelenggaraan diklat/ bimtek K-13? Apakah hal tersebut sudah direalisasikan? Sehingga baik guru mata pelajaran nasional dan mulok mendapatkan perlakuan yang sama. Pemerintah menargetkan tahun pelajaran 2019/2020 semua sekolah telah mengimplementasikan K-13, tetapi realitanya guru-guru mulok wajib bahasa daerah sampai dengan saat ini belum mendapatkan diklat/Bimtek K-13.
Jika menilik kepada karakteristik mulok, maka yang paling tepat menangani diklat/ bimtek K-13 bagi guru-guru mulok wajib bahasa daerah adalah pemerintah daerah. Jenjang SD dan SMP ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan jenjang SMA/SMK ditangani oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Seorang guru bahasa Sunda pernah curhatkepada saya tentang minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap guru-guru mulok wajib bahasa daerah. Mereka bingung harus mengadu kemana lagi untuk menyampaikan harapan dan keinginannya, sedangkan di sisi lain digembar-gemborkan pentingnya memelihara dan mempertahankan eksistensi bahasa daerah di tengah semakin sedikitnya jumlah penutur bahasa daerah yang berakibat sudah banyaknya bahasa daerah di Indonesia yang akibat sudah tidak ada yang menggunakan lagi.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud mencatat bahwa dari 617 bahasa daerah yang teridentifikasi di Indonesia, sebanyak 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa daerah sudah dinyatakan punah. Punahnya sebuah bahasa bisa disebabkan oleh beberapa fakktor, seperti peperangan, bencana alam, letak geografis, dan sikap bahasa penutur. (www.liputan6.com, 02/08/2016). Bahasa daerah adalah bagian dari identitas sebuah suku bangsa. Oleh karena itu, harus dilestarikan. Adanya mulok wajib bahasa daerah di sekolah adalah dalam rangka mempertahankan eksistensi bahasa daerah atau kalau di Jawa Barat disebut bahasa Indung.
Kalau memang keberadaan bahasa daerah penting dalam kurikulum pendidikan, maka perlu juga diperhatikan peningkatan kompetensi gurunya, diantaranya dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti diklat/bimtek K-13. Walau mungkin saja ada yang kreatif sendiri mencari informasi, tetapi informasinya tidak akan merata, beragam, dan mungkin juga kurang update,apalagi K-13 mengalami beberapa kali revisi sejak diberlakukan. Minimal perlu ada sosialisasi dari pemerintah atau diseminasi dari instruktur yang menguasai K-13.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H