Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanggal 14 Desember 2017, persoalan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) makin ditanggapi serius dan membahayakan oleh masyarakat. LGBT sudah dianggap sebagai wabah penyakit menular yang penyebarannya disinyalir terorganisir dan sistematis, serta disokong oleh organisasi internasional melalui LSM-LSM yang pro LGBT di Indonesia.
 Walau putusan MK tersebut tidak berarti melegalkan LGBT dan revisi UU KUHP adalah ranahnya DPR, tetapi secara psikologis, kalangan pro dan pelaku LGBT seolah mendapatkan angin segar. Mereka semakin berani menampakkan diri, karena menganggap negara tidak atau belum melarang eksistensi mereka, karena ini adalah HAM setiap orang.
Pihak yang pro LGBT membela bahwa LGBT adalah dampak dari kelainan genetik seseorang, sehingga orientasi seksnya berbeda dengan manusia normal. Dia suka terhadap sesama jenis. LGBT adalah takdir Tuhan padanya, dan dia tidak kuasa menolak takdir tersebut. Oleh karena itu, dia larut dalam keadaan seperti itu.
Ada yang mengatakan bahwa LGBT adalah penyakit, tetapi anehnya dia justru tidak mau disembuhkan, dan justru menyebarkan penyakit tersebut kepada orang lain, utamanya kepada kalangan pemuda dan remaja. LGBT disamping penyakit secara biologis, juga secara psikologis dan sosial.
Para penderita HIV/AIDS selian banyak berasal dari kalangan heteroseksual, juga banyak yang berasal dari kalangan LGBT, bahkan jumlahnya semakin meningkat. Beberapa data yang saya kutip dari internet dapat menjadi penguat argumen tersebut.
Di Semarang, keberadaan komunitas penyuka sesama jenis kelamin di Kabupaten Semarang semakin mengkhawatirkan. Selain semakin terang-terangan dalam menunjukkan eksistensinya, banyak di antara mereka sudah terinfeksi penyakit menular seksual serta HIV/AIDS. Selama 2015, menurut Pujisantoso, PKBI menemukan dua penderita HIV/AIDS baru yakni seorang LSL dan ibu hamil yang tertular dari suaminya. Sedangkan temuan pada 2014 lalu, ungkap Puji, sebanyak 63 orang lekaki berisiko tinggi dan waria sebanyak 31 orang, PSK 107 dan ibu rumah tangga 18 orang dan anak-anak 7 orang. (Kompas, 18/09/2015).
 Komunitas homoseksual dan lesbian di Kabupaten Bekasi mencapai 1.000 komunitas dan Kota Bekasi mencapai 500 komunitas.Dan kini yang positif mengidap HIV/ AIDS untuk komunitas homoseksual di Kabupaten Bekasi sebanyak 70 orang, sedang dari komunitas homoseksual di Kota Bekasi ada 50 orang yang mengidap penyakit tersebut. (Arrahmah.com, 15/02/2016).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, jumlah penderita HIV/AIDS saat ini mencapai 259 orang. Jumlah penderita dari kalangan penyuka sesama jenis meningkat. (Sindonews, 20/02/2016).
Dari 178 kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Kabupaten Bandung Barat, hampir setengahnya diperkirakan berasal dari kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Hal tersebut berdasarkan temuan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) KBB pada 2007-2015. Pengelola Program KPA KBB Anzhar Ismail memaparkan, sebanyak 34 persen dari 178 kasus HIV/AIDS yang ditemukan itu merupakan kaum gay, 1 persen biseksual, dan 1 persen transgender. Sementara kasus HIV/AIDS yang menimpa golongan heteroseksual sebanyak 53 persen, pengguna jarum suntik 2 persen, dan penularan ibu ke anak 2 persen. (Pikiran Rakyat, 22/02/2016).
Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Tegal kian meningkat. Hingga Juni 2017 lalu, jumlah penderita penyakit mematikan itu mencapai 633 kasus, 22 orang diantaranya adalah LGBT. (Jawa Pos, 21/07/2017). Berdasarkan data KPA Brebes, terjadi perubahan tren penyebab HIV/AIDS di kota bawang pada tahun 2017 ini. Hingga bulan September ini tercatat 109 penderita HIV, di mana 75 persennya adalah kaum gay. (Radar Tegal, 13/09/2017).
Di Yogyakarta, jumlah orang dengan HIV AIDS (ODHA) melalui populasi Lelaki Suka Lelaki (LSL) sepanjang tahun 2016 diperkirakan mencapai 153.771 orang atau meningkat 225 persen dibanding tahun 2011 yang tercatat sebanyak 68.175 orang. (Netral News, 01/12/2016). Di Riau, Dalam hitungan dua tahun terakhir, penyebaran HIV/AIDS di Riau di kalangan LGBT semakin luas. Dari data awalnya terjadi 0,1 persen kini meningkat jadi 0,7 persen penularannya. (Detik.com, 04/12/2017).
Kasus-kasus yang muncul di beberapa daerah tersebut sangat mengerikan. Belum lagi kalau kasus-kasus di daerah lain yang belum terungkap. Virus HIV/AIDS yang juga penderitanya berasal dari kalangan LGBT ibarat bola salju yang jumlahnya semakin besar dan jika tidak disikapi dengan serius, maka akan menyebabkan generasi Indonesia kehilangan masa depan.
Menurunnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama serta lingkungan pergaulan disinyalir menjadi sarana penyebaran LGBT. Para orang tua patut khawatir dengan kondisi seperti ini, karena anak-anaknya banyak beraktivitas di sekolah, kampus, dan aktivitas luar rumah lainnya. Mereka mungkin saja di rumah terlihat seperti manusia yang normal, tetapi di luar rumah, aktivitasnya tidak dapat dikontrol oleh orang tua.
Keluarga adalah unit masyarakat yang terkecil. Keluarga juga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga harus bisa menjadi benteng terhadap penyebaran LGBT. Sejak kecil, orang tua harus mengondisikan pendidikan dan bermain anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Kecuali yang memang memiliki kelainan secara medis dan psikologis, tentunya harus melibatkan dokter dan psikolog.
Dalam konteks pendidikan, orang tua perlu menanamkan pendidikan agama yang kuat terhadap anak-anaknya. Agama menjadi fondasi utama dalam membangun keimanan, ketakwaan, dan akhlak manusia. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Itu adalah sunnatullah.
Seorang anak lahir dari perkawinan yang berbeda jenis, bukan sesama jenis. Ketika seorang manusia menyukai lawan jenisnya, dapat dipastikan itu adalah penyakit sekaligus penyimpangan. Orang tua pun dapat menceritakan kisah kaum Nabi Luth As. yang diberi azab oleh Allah karena berperilaku seks menyimpang sebagai. Kisah ini adalah sebuah pelajaran bagi manusia agar tidak berlebih-lebihan dan hidup sesuai dengan kodratnya.
Salah satu tujuan manusia membantuk keluarga adalah untuk melanjutkan garis katurunan. Perkawinan yang dilakukan oleh sesama jenis sudah pasti tidak akan melahirkan anak. Adapun pembelaan dari kaum LGBT bahwa mereka pun dapat memiliki anak dari menyewa rahim, itu hanya pembelaan yang sangat mengada-ada dan menyedarhanakan masalah. Argumen tersebut sebenarnya mengakui bahwa anak hanya bisa lahir dari pasangan beda jenis dan sekaligus pengakuan bahwa kelakuan mereka memang menyimpang. Hanya mengagung-agungkan HAM dan urusan seks.
Di tengah kondisi saat ini dimana kaum LGBT semakin berani menampakkan diri dan mendapatkan dukungan internasional, keluarga menjadi benteng pertama sekaligus terakhir untuk mengantisipasi anak-anak menjadi korban LGBT. Pendidikan seks yang kadang dianggap tabu oleh sebagian keluarga justru harus diperkenalkan sejak dini dengan tetap mengacu kepada norma yang berlaku. Wallaahu a'lam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H