Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan / LPMP Jawa Barat)
Bagi seorang penulis profesional, menulis merupakan aktivitas yang menjadi bagian dari profesinya. Menulis menjadi lahan nafkah atau mencari penghasilan. Tetapi ada juga yang menjadikan menulis sebagai hobi, hiburan, atau akivitas sampingan tanpa menghilangkan pekerjaan utamanya. Tulisannya hanya sekedar menuliskan pengalaman hidup atau dunia kerjanya.
Apapun kategorinya, apakah penulis profesional atau pun penulis amatir, dua-duanya pasti memiliki tujuan ketika menulis dan mendapatkan kepuasan tersendiri, yang kalau isitilah saya (maaf) "orgasme literasi." Hal tersebut hanya dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar meminati dan menikmati prosesnya. Ketika satu tulisan selesai, maka dia akan menulis tulisan-tulisan berikutnya. Mengapa demikian? Karena dia telah kecanduan menulis. Makanya dia ingin dan ingin lagi melakukannya.
Orang yang menulis untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah atau untuk syarat kenaikan pangkat, dia akan merasa terbebebani, tersiksa, merasa tidak nyaman, dan tertekan. Ketika tulisannya selesai, maka dia merasa "merdeka" dari "penjajahan" tugas akhir yang harus dilaluinya. Andai bisa berteriak, tentu dia akan berteriak mengekspresikan kebahagiaannya. Bahkan dia kadang malas untuk membuka kembali tugas akhir atau tulisan yang pernah dibuatnya. Dengan kata lain, walaupun dia mampu menyelesaikan tulisannya, belum tentu dia mengalami "orgasme literasi."
Orang yang mengalami "orgasme literasi", pastinya dia menulis disertai hati. Niat ingin berbagi ide atau gagasan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Ketika terbersit ide, maka dia segera mengeksekusinya menjadi sebuah tulisan. Jika waktunya  kurang memungkinkan, minimal mencatat garis-garis besar gambaran tulisan yang akan ditulisnya di lain waktu.
 Menulis adalah sebuah proses kreatif. Tiap orang memiliki karakter dan gaya masing-masing. Gaya atau karakter terebut didapatkannya setelah sekian lama dia berproses menghasilkan karya demi karya. Ketika dia telah memiliki gaya atau karakter tersebut, maka dia akan merasa nyaman, dan akan terus mempertahankannya.
Penulis biasanya berkumpul dengan sesama penulis. Mereka akan banyak berdiskusi atau menceritakan aktivitas yang dilakukannya. Mereka lalu membentuk komunitas sebagai sarana untuk silaturahim, berbagi informasi, atau ide. Rasa "senasib" dan memiliki visi yang sama membuat mereka nyaman berada dalam komunitas.
Pasca diluncurkannya Gerakan Literasi Sekolah (GLS), hingar bingar kegiatan menulis, khususnya di kalangan guru begitu tampak. Berbagai pelatihan menulis dilakukan, baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun organisasi penulis. Hal ini merupakan tren positif, dan semoga tidak layu seiring waktu.
Untuk mencapai "orgasme literasi", maka seorang penulis harus mampu mengatur tempo menulis, menyajikan sebuah tulisan yang baik, dan enak untuk dibaca. Bukan hanya asal ditulis, dan tulisannya kering akan makna. Oleh karena itu, dia harus banyak membaca agar idenya terus mengalir dan tulisannya sarat akan makna. Jangan sampai dia mengalami "ejakulasi dini literasi" dimana dia baru saja menulis, sudah berhenti karena kekurangan ide, mandeg, dan kurang mampu mengembangkan tulisannya.
Ketika seorang pemancing merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika umpannya dimakan ikan dan kailnya ditarik-tarik oleh ikan yang berusaha untuk melepaskan diri dari kail pancing, maka kenikmatan seorang penulis adalah seorang penulis adalah ketika tulisannya selesai, banyak yang membaca, banyak yang memberikan apresiasi, bahkan mungkin saja tulisannya viral di media sosial.
Dampak dari tulisannya selain dari banyaknya orang yang terinspirasi, termotivasi, namanya juga menjadi terkenal. Secara ekonomi, mungkin saja mendapatkan keuntungan karena dapat penghasilan dari royalti buku, jadi narasumber pada berbagai seminar dan pelatihan menulis, bahkan jadi bintang iklan.
Ibarat suami-istri yang akan melakukan hubungan suami istri, maka untuk mencapai klimaksnya, maka perlu menyiapkan diri dengan baik, seperti kondisi fisik, psikis, dan lingkungan. Seorang penulis pun, kalau ingin mencapai klimaks dalam menulis, maka dia pun perlu menyiapkan fisik, mental, fokus, mencari waktu, tempat, dan suasana yang nyaman. Atau menciptakan sendiri kenyaman tersebut. Tentunya setiap penulis memiliki tempat, waktu, dan kenyamanan masing-masing dalam menulis. Ada yang harus berada dalam tempat yang sepi atau ramai, disertai musik, sambil merokok, ngopi, disertai cemilan, atau bisa menulis dalam setiap kondisi.
Seorang penulis hebat tentunya dia tidak ujug-ujug jadi begitu saja. Tetapi dia melalui proses yang lama dan penuh dengan kesulitan. Dengan perjuangan yang tak kenal lelah, maka dia pun mampu meraih buah manis dari hasil kerasnya. Itulah sejatinya "Orgasme literasi."Ingin menikmati "orgasme literasi?" menulislah dengan sepenuh hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H