LULUSAN SMK BISA (APA?)
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemerintah termasuk pemerintah provinsi Jawa Barat adalah masalah tingginya angka penangguran, dan mirisnya lagi penganguran didominasi oleh lulusan SMK yang notabene mempersiapkan lulusan untuk siap bekerja.
Acuviarta, pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan mengatakan bahwa jumlah pengangguran di Jawa Barat sekitar 1,9 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 38,11% adalah lulusan SMA/SMK dengan rentang usia antara 20-24 tahun. Saat ini, di Jabar tercatat ada sekitar 279 SMK negeri. Dari jumlah itu, terdapat sekitar 1.374 kompetensi keahlian. Setiap tahunnya, ratusan SMK menyediakan 111.984 kursi bagi lulusan SMP. (Sindonews.com, 25/09/2017).
Pada masa Mendiknas Bambang Soedibyo memang diigembor-gemborkan program SMK bisa, dimana pemerintah menggenjot pendirian SMK dan membatasi pendirian SMA. Tujuannya adalah disamping untuk memproporsionalkan jumlah SMK terhadap SMA yang lebih banyak, juga untuk menyiapkan lulusan-lulusan yang siap kerja  dalam rangka menghadapi persaingan globalisasi dan Masyrakat Ekonomi ASEA (MEA). Oleh karena itu, pendirian SMK bak jamur di musim hujan. Pemerintah mendirikan SMK negeri, dan yayasan-yayasan pun ramai mendirikan SMK, sehingga dalam satu kecamatan minimal ada satu SMK negeri dan beberapa SMK swasta.
Iming-iming lulusan SMK lebih mudah bekerja dibandingkan dengan lulusan SMA, membuat animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SMK semakin tinggi. Dampaknya, pendaftar ke SMA mengalami penurunan, bahkan ada SMA yang terpaksa ditutup karena kekurangan murid.
SMK yang baru didirikan belum memiliki ruang praktek, bengkel kerja (workshop)untuk latihan. Satu hal prinsip yang ada sesuai dengan standar pengelolaan. Oleh karena itu, karena keterbatasan sarana, siswa-siswanya banyak harus ikut menumpang praktek di sekolah lain. Pada tahun berikutnya baru ada penambahan sarana baik dengan mengandalakan bantuan pemerintah maupun partisipasi dari orang tua. Harus diakui, mendirikan SMK butuh dana besar, tidak seperti mendirikan SMA.
Masalahnya adalah mengapa SMK yang belum memiliki sarpras yang layak tapi tetap diizinkan berdiri, dan menerima siswa, Bahkan terbit izin operasionalnya? Itulah yang sebenarnya menjadi akar masalah. SMK yang sarprasnya belum layak diberikan ruang untuk menyelenggarakan KBM. Bukan hanya SMK swasta, tapi juga SMK negeri. Awal-awal pendirian SMK negeri banyak yang menumpang di sekolah-sekolah lain. Akibatnya layanan pendidikan terhadap peserta didik kurang terjamin kualitasnya. Dan dampaknya, lulusannya kurang kompeten.
Disamping memiliki sarpras yang memadai, SMK pun harus membuka kerjasama dengan instansi dan perusahaan, karena siswa SMK harus melakukan kunjungan instansi/ industri dan Praktek Kerja Lapangan (PKL) atau Praktek Kerja Industri (Prakerin). Masalahnya adalah disamping ada SMK yang belum memiliki sarpras yang lengkap ada kalanya kurang mampu menyediakan tempat PKL atau prakerin yang sesuai dengan bidang yang dipelajarinya. Bahkan ada siswa yang mencari tempat prakerin sendiri.